"Laras," bisiknya lirih.
"Eh, iya..." gagapku.
"Apa yang kamu pikirkan?"
"Ti-tidak, aku enggak bisa terima ini."
"Kamu harus menerimanya. Kalau tidak, itu berarti kamu hendak memutuskan hubungan darah kita."
"Ta...piii... aku adalah anak tiri dari istri kedua yang bisa saja menjadi penyebab sakitnya Ibumu."
"Cukup! Ibuku meninggal karena memang telah ditakdirkan Tuhan." Nina membentakku. Kali ini suaranya mirip lengkingan.
"Tapi ini jerih payahnu dan kakakmu, Nin."
"LARAS! Jangan sampai aku membencimu!"
"Aku ke sini bukan minta uangmu. Aku meminta pertanggung jawaban ayahmu, Nina!" Aku tak kuat lagi. Terlalu banyak kejutan yang kuterima. Aku benci karena telah menuduh Ibu lalu pergi meninggalkannya sendiri. Aku benci Nina yang gigih mempertahankan haknya dengan mencari uang sendiri. Aku benci kekeras-kepalaannya karena memaksaku menerima tabungannya.
"Jadi, kamu benar-benar ingin tahu mengapa sedari tadi kamu tak menemukan ayah? Ini! Ayah mengirim SMS ini tepat empat puluh hari setelah kematian Ibu," Nina menunjukkan sebuah SMS dari HP-nya.
"Nak, maaf jika ayah harus mengatakan ini. Maaf jika untuk beberapa bulan ke depan ayah tak dapat menjenguk kalian. Kebutuhan hidup kalian bisa kalian penuhi sendiri bukan? Jangan cari ayah karena saat ini ayah tengah menunggu kelahiran anak lelaki ayah, jagoan ayah dari rahim Azizah, istri ayah."
Sender: Ayah
0857 09888xx
Sebuah tangan hitam besar seolah meremas jantungku. Lututku bergetar. Aku tahu sesaat setelah membacanya, Nina menggenggam tanganku kemudian merengkuhku di dadanya. Lalu aku mendengar jeritan nyalang yang terdengar seperti suaraku. Tapi nyatanya mulutku tertutup diam dan penglihatanku gelap.