Cinta Itu?

By Astri Soeparyono, Kamis, 4 Agustus 2011 | 16:00 WIB
Cinta Itu? (Astri Soeparyono)

Kubetulkan letak kacamataku, lalu kututup buku yang sedari tadi kubaca. Kuedarkan pandangan ke tengah lapangan basket, tempat anak-anak yang lain berkumpul.

          Kuhempaskan napas, bosan. Terdengar riuh sorakan dari tepi lapangan. Tak ada kerjaan, pikirku melihat anak-anak cwek menyoraki cowok-cowok pemain basket.

          Taman sekolah merupakan tempat kesayanganku untuk menghabiskan waktu saat di sekolah sedang tidak trjadi kegiatan blajar - mengajar.

          Ini hari Selasa, lewat dua hari dari terakhir para murid di sekolah ini mengikuti test. Dan seperti biasa, selama seminggu ini, lomba antar kelas digelar sampai Sabtu nanti pembagian rapor.

          Kulirik sepasang teman yang mojok dekat perpustakaan. Ayik sekali berbincang, dengan sesekali diiringi tawa. Itukah yang namanya pacaran? Menumpahkan rasa cinta pada lawan jenis. Berjalan bersama, bergandengan tangan, berbicara berdua, kemana-mana selalu berdua.

          Apa itu cinta? Tanyaku pada diriku sendiri. Cinta adalah awal dari kesedihan, jawabku.

          "Dor!"

          Terkejut aku mendengarnya. Vivi yang baru saja mengejutkanku itu tertawa.

          "Sendirian terus kerjaannya," ledeknya.

          "Sudah selsai?" tanyaku padanya begitu kulihat gerombolan anak yang tadinya memadati lapangan basket itu mulai bergerak meninggalkan lapangan.

          "He-eh!" Vivi mengangguk.

          "Kamu enggak stia kawan. Masak kelasnya bertanding, kamunya enggak kasih dukungan.

          "Tapi aku ngasih doa," elakku dari tuduhannya.

          Dia manyun, lalu seperti teringat sesuatu dia memandangku.

          "Dapat salam dari Bagas," katanya.

          Aku bisa merasakan raut wajahku berubah setelah mendengar ucapannya itu.

          "Waktu dia bertanding tadi, dia cari kamu, An. Coba tadi kamu ikut ngedukung, pasti dia tambah semangat main untuk kelas kita."

          "Memangnya kelas kita kalah?"

          "Ya menang dong! Kalau kalah, pastinya aku dekatin kamu dengan wajah lesu,"

          Aku tertawa.

          "Sepertinya Bagas suka kamu, " dia member tahu.

          "Sudah jangan ngomongin itu lagi!"

          "Kamu ini aneh. Biasanya nih, seorang cewek pasti akan senang sekali tahu ada cowok suka pada dirinya. Apalagi ini Bagas, si bintang lapangan basket."

          Dia benar. Harusnya aku bahagia mendengar ada orang menyukaiku. Tapi perasaan seperti itu, yang dulu juga pernah ada dalam hatiku sudah hilang. Dicuri waktu.

          "Aku mau nerusin baca buku, jangan kamu ganggu," pintaku padanya.

          "Iya deh. Aku pergi dulu ya, amu lihat pertandingan kelas lain. "Dia pamit padaku, lalu melesat cepat bersama teman yang lain.

          Kulanjutkan kegiatanku sebelum dia datang, baca buku. Tapi sepertinya, ketenangan yang kudapat tadi sudah dicemari perkataannya tntang rasa suka. Aku jadi melamun, memandang kosong tanaman bunga carnation merah jambu di depanku.

          Cinta membuat orang menjadi bahagia. Benarkah itu? Bila telah dua kali aku harus menangis karena cinta.

          Bukan sepenuhnya salah cinta, jika perlu menelan kecewa. Hanya saja cinta-lah yang membuatku bersedih. Karena kalau aku tidak memiliki perasaan itu pada orang lain, tntunya aku tidak perlu memendam kerinduan yang menyiksa.

          Perasaan itu sangat menyakitkan. Berharap suatu waktu orang yang kita cintai menghampiri kita, menyatakan rasa cintanya dan membuat kita tersanjung. Ternyata yang terjadi justru sebaliknya. Orang itu memberikan cintanya pada orang lain. Padahal kita sudah bermimpi setinggi awan.

          Aku ingat pengalamanku sendiri saat seorang temanku seperti Vivi menyampaikan salam dari seorang cowok. Aku begitu antusias menyambutnya. Aku jadi memperhatikan setiap gerak-gerik cowok itu. Apa saja kegiatannya aku tahu.

          Seringkali aku mengkhayal, dia benar-benar menembakku dan kami pun berpacaran. Sampai-sampai aku brmimpi hal itu terjadi. Kenyataannya? Kudengar berita dia telah jadian dngan orang lain.

          Lalu, untuk apa semua perhatian yang mati-matian aku berikan padanya. Kupupuk rasa suka sedikit demi sedikit, nyatanya setelah rasa cinta terwujud, dia meninggalkanku.

          Kemudian aku berusaha menghapus cinta yang tercipta dengan mulai menyukai orang lain. Kulupakan dirinya dengan melampiaskan perasaan sukaku pada orang lain.

          Kembali kuulang mimpi-mimpi. Memulai dari awal mengharapkan cinta. Kuagungkan cintaku pada orang ini. Mungkin salahku juga kalau akhirnya orang inipun pacaran dengan cewek lain.

          Kesalahan terbesarku adalah karena aku tidak berusaha menunjukkan perasaanku. Tapi apa iya, seorang cewek menunjukkan perasaannya terlebih dahulu?

          Yang pasti, sejak saat itu aku berjanji tidak akan lagi berusaha mencintai seseorang. Takut kecewa. Takut terluka. Takut menangis sendirian lagi.

          Aku cukup senang dengan suasana hatiku saat ini. Tidak perlu lagi merasa was-was mendapati kenyataan yang tidak seindah harapan. Sebab aku tidak bermimpi untuk itu.

***

          Aku menoleh melihat ke pintu kelasku, kudapati Bagas bersandar di sana yang kuyakini dia sedang menatapku.

          Bagas tersenyum dan kubalas dengan senyum. Aku tidak mau dianggap sombong. Rupanya senyumanku membuatnya merasa tidak perlu sungkan, sehingga dia mulai melangkah menghampiriku. Masih bisa kulihat bekas keringat yang menempel di tubuhnya. Pastinya baru mengganti baju olahraga dengan seragam.

          "Baca apaan?" tanyanya.

          "Buku sejarah mitologi Yunani. Capk?" Ganti aku bertanya.

          "Sedikit," katanya.

          "Aku mau mengembalikan buku ini ke perpustakaan. Aku tinggal dulu ya!"

          Kutinggalkan dia.

          Sebenarnya aku belum selesai membacanya. Aku cuma pura-pura,untuk menghindarinya .ketakutan akan datangnya cinta menderaku. Aku tahu,jika aku berdekatan dengannya, rasa cinta akan mulai muncul. Dan aku tidak mau kecewa itu datang lagi.

          Aku sudah berjanji akan menutup pintu hatiku sampai saatnya tiba nanti. Saat takdir benar-benar mempertemukan pasangan hidupku. Terlalu jauh ya pikiranku?

          Terserah aka nada komntar apa, yang pasti saat ini itulah pemikiranku tentang Cinta. Cinta adalah awal dari kesedihan.

***

          Pertandingan final basket antar kelas, satu dari dua tim adalah kelasku. Vivi sudah menggandeng tanganku terus sampai di lapangan basket, dan tetap memegangnya seakan takut aku pergi.

          "Kami harus mendukung kelas kita", kata Vivi tegas.

          Aku tersenyum dan mengangguk-angguk  seperti anak kecil.

          Bagas pasti akan tambah semangat melihat  kamu menontonya."

          "Aku pergi nih,kalau kamu bicara soal itu", ancamku.

          "Enggak lagi deh!"

          Pertandingan dimulai dan akan bisa melihat Bagas tersenyum padaku.

          Sebisa mungkin kunikmati pertandingan ini. Ikut bertepuk tangan, member semangat.

          Kelas kami menjadi juara membuat kami bersorak-sorak kegirangan. Aku langsung mulai melangkah untuk meninggalkan lapangan basket.

          "Anti!" Bagas mengejar langkahku.

          Tubuhnya dipenuhi peluh dan dia tersenyum begitu kami berhadapan.

          "Kutunggu di Banaran pulang sekolah nanti," sebutnya pada café yang biasanya menjadi tongkrongan anak-anak sepulang sekolah.

          Begitu saja, lalu dia pergi dari hadapanku, setengah berlari menghampiri teman-teman yang ikut pertandingan tadi.

          Kupandangi punggungnya dan balik kacamataku. Perasaanku datar. Syukurlah! Aku tidak mau ada yang lain di hatiku.

          Mulanya aku ragu untuk memenuhi ajakannya. Tapi saat sudah kupijakkan kaki di Banaran, aku jadi lebih mantap menemuinya.

          Ada hal harus kita tahu. Aku telah mengetahui bagaimana rasanya terhempas dari mimpi, maka aku tidak ingin melukai orang lain. Paling tidak dengan pergi menemuinya bisa membuatnya lega.

          Aku duduk dihadapannya.

          "Mau pesan apa?" tanyanya.

          "Apa saja," jawabku asal.

          "Jus jeruk saja ya? Kamu suka kan?" Dia menyebut minuman kesukaanku. Membuat aku sadar dia telah memperhatikanku.

          Dia mulai bicara soal pelajaran, guru-guru dan apa saja bisa dijadikan bahan pembicaraan. Kutanggapi dengan sikap seperti biasa kalau sedang berbincang dengan teman lain. Hingga akhirnya dia mengatakan perasaannya.

          "Aku menyukaimu, Anti."

          "Jangan lanjutkan perasaanmu itu," kalimat itu kulontarkan.

          "Kenapa?"

          "Aku tidak ingin kamu kecewa."

          "Aku tidak akan kecewa. Aku menyukaimu dan saat ini aku bisa merasakan indahnya cinta."

          "Cinta itu kesedihan. Jangan memulainya kalau kamu tidak ingin terluka. Bunuhlah cinta itu secepat mungkin, sebelum terlalu besar."

          "Tapi aku sudah menyukaimu sejak dulu dan cintaku telah tumbuh."

          "Buang sekarang juga sebeelum lebih besar."

          "Aku tidak akan membuangnya begitu saja. Sekalipun misalnya cinta ini tidak terjalin, aku akan tetap menyimpannya. Kuknang perasaan itu, perasaan indah yang bisa membuatku bahagia."

          Kuangkat mukaku, menatapnya.

          "Kita brbeda dalam memandang cinta, itu artinya kita tidak akan cocok," kataku dengan pasti.

          "Bukankah perbedaan membuat dunia ini jadi lebih berwarna?"

          "Terserah kamu saja. Asalkan jangan pernah menyesal memendam perasaan itu sendirian."

          "Aku akan menunggumu sampai kau merasakan hal yang sama denganku."

          Aneh. Mengapa aku bisa tertawa dengannya. Mndengar kata-katanya membuat suasana lain di hatiku.

          "Aku tidak akan mencoba menyukaimu, Bagas," tegasku lagi.

          "Karena kamu takut? Takut kalau aku sudah melupakan cinta ini, ketika kamu telah menyukaiku. Aku akan menjaga cinta ini Anti. Sampai nanti kamu telah memiliki orang lain, baru akan kusimpan dan kututup rapat cinta ini di dasar hatiku."

          Entah kenapa, aku jadi menatapnya dan mencari ksungguhan di matanya.

          "Aku mau pulang." Kataku yang pastinya mengejutkannya.

          "Kupikir dia akan menahanku, tapi aku salah Bagas tersenyum lalu berdiri.

          "Oke! Aku antar," katanya. Sekarang ganti aku yang terkejut dengan sikapnya.

          Saat dia berjalan disampingku, aku bisa merasakan degup jantungku. Aku jadi bisa merasakan bahwa sudah mulai menyukainya.

          "Kamu sudah mulai menyukaiku bukan?" tanyanya dengan tersenyum.

          Aku ikut tersenyum. Ada bahagia menjalari hatiku.

          Apakah ini awal dari perjalanan cintaku? Haruskah kuakui aku mulai dilanda cinta? Dan haruskan kuakui, cinta membuatku merasa bahagia? Cinta itu indah.

          Benar?

***