CATATAN SI BON

By Astri Soeparyono, Kamis, 4 Agustus 2011 | 16:00 WIB
CATATAN SI BON (Astri Soeparyono)

         Serentak terdengar gemuruh tawa dari seisi kelas. Bu Citra mendekatkan wajahnya padaku. Matanya tampak menyala-nyala garang. "BONITA KAMU PASTI SALAH BAWA BUKU!!"

         Aku tersentak kaget. Segera kubaca judul buku itu. Waduh! Ini diktat kuliah Mas Bona! Pantas berat...

         "Ngg...anu, Bun..." Aku spontan menutup mulut Nyaris saja melupakan perjanjian yang kami ikat sejak aku diterima di SMA ini. "Keterlaluan! Cepat berdiri di depan kelas!" suara Bu Citra terdengar lagi. Aku terkejut. Aku dihukum? Tapi... larangan nepotisme kan hanya berlaku pada nilai dan soal, bukan hukuman!

         Tapi Bu Citra malah melotot seram saat aku mencoba berargumen dengannya. Dengan langkah gontai dan diiringi bisik-bisik serta tawa terkikik dari bangku murid, aku berdiri di pojok kelas, sementara Bu Citra menerangkan sisa pelajaran selama 15 menit, sebelum bel pulang berbunyi. Memalukan . Bunda harusnya puas karena berhasil memamerkan keprofesionalannya sebagai guru. Baginya, semua yang salah harus kena libas, tak peduli itu darah dagingnya sendiri.

         "Bunda," ratapku bak Malin Kundang saat Bunda menggiringku masuk ke ruang guru. Aku akan disidang empat mata olehnya. Hatiku bertambah cemas saat kulihat ujung buku harianku tersembunyi dari balik saku blazernya. Sebentar lagi semua borokku akan terbongkar.

         "Bon, Bunda marah sama kamu. Pertama, kamu bikin Bunda malu karena salah bawa buku. Itu kesalahan terkonyol sepanjang sejarah Bunda sebagai guru!"

         Aku hanya menunduk. Bunda nyerocos lagi. "Kedua," ia menarik buku harianku dari sakunya. "Ini kan buku catatan materi Bunda, Bon! Kenapa kamu pakai?" Aku makin tertunduk. Buku harianku yang sebelumnya memang sudah habis. Lihat buku kosong tergeletak di rumah, langsung saja aku sambar.

         "Aduh, siapa yang mewarisi bengal kamu, Bon? Bunda sama Ayahmu waktu kecil enggak pernah senakal ini," ujarnya lagi. Aku diam saja. Kali ini aku berjanji tak akan meencari-cari alas an lagi. Toh Bunda akan tahu sendiri jawaban dari pertanyaan yang ia lontarkan tadi jika ia membaca seluruh isi buku harianku.

         Bunda sudah kehabisan kata-kata. Ia menghela napas pendek. Awalnya aku menyangka ia turut menyesal karena telah menularkan sel genetik yang membuatku mempunyai sifat ajaib seperti ini. Tapi teryata dugaanku meleset 100%. "Ya sudah, kamu pulang duluan sana. Bunda masih ada kerjaan. Oya, nanti kalau Bu RT datang nagih duit arisan, bilang Bunda lagi tugas ke Jayapura, ya," bisiknya pelan sambil mulai membolak-balik buku harianku.

***