CATATAN SI BON

By Astri Soeparyono, Kamis, 4 Agustus 2011 | 16:00 WIB
CATATAN SI BON (Astri Soeparyono)

Bon!" Aku menoleh. Dinar mengarahkan telunjuknya ke depan kelas, tempat Bu Citra tengah berkoar-koar menjelaskan Limit Fungsi. Sadar tak digubris, gadis berambut ikal itu menjulurkan kepalanya "Bon, lagi ngapain sih?" Aku buru-buru mengepit buku tulisku. "Ah, Abon pelit!"

         Pelit memang sifat burukku. Tapi ada lagi sifat buruk yang dari dulu ingin kubasmi. Sebuah kebiasaan yang kelihatannya remeh namun sangat mmatikan, berbohong.

         Sungguh, aku tersihir ucapan Pak Ustad kala psantren kilat dulu. Hari itu juga aku bertekad untuk berubah. Tiba-tiba saja turun hujan deras yang langsung membuat lokasi pesantren banjir   mendadak. Sepertinya langit pun terharu mendengar niat suciku itu.

         Dan seperti remaja lain, aku juga suka mencatat semua aktivitasku dalam buku harian. Semua ulahku lengkap tercatat di situ. Di waktu senggang seperti sekarang pun, aku kerap membacanya ulang. Entah untuk apa.

        

         Hari ini seluruh keluargaku bangun kesiangan. Pukul tujuh pagi, kami berlarian menuju tempat aktivitas masing-masing. Saat berlari tadi aku sempat berpikir, alasan apa yang bisa membuat guru kimiaku melunak. Macet? Pak Omar tahu betul rumahku di kompleks belakang sekolah ini. Tapi masak pagi-pagi gini sudah bohong? Hmm... enggak apa-apa kali, ya? Kan lagi kepepet.

         Dan akhirnya aku diperbolehkan masuk dengan alasan mutakhir, mencret-mencret. Walau diiringi kerutan di kening Pak Omar plus tawa tertahan dari bangku teman-teman, toh akhirnya aku diizinkan masuk. Setidaknya, alasanku jauh lebih kreatif dibandingkan alasan Sobri, kebanjiran di tengah cuaca kemarau seperti ini.

         Tuh kan... belum apa-apa sudah bohong lagi. Mana ada tanggal 30 Februari? Tapi aku malas mengingat tanggal berapa sekarang. Soalnya ini HARI TERBURUK dalam hidupku.

         Sejam yang lalu aku dan Bunda dalam perjalanan pulang dari sebuah swalayan. Ada obral kaus kaki besar-besaran di sana. Karena jalanan sepi, Bunda yang kelihatannya terobsesi jadi pembalap itu memacu mobil dengan kencang. Aku yang duduk di sebelahnya hanya mampu komat-kamit berdoa mohon keselamatan. Dan sebelum doaku selesai, tiba-tiba terdengar bunyi melengking. Mobil berhenti mendadak. Aku tahu ada yang enggak beres. Dan aku melihatnya sendiri. Kalau ditulis di scenario film, beginilah percakapan singkat kami :

         Bunda: Bon, (kependekan dari bontot) yang kita lewati tadi apaan?

         Aku: Ituuu... polisi tidur, Bun.

         Bunda: Yakin? Kok empuk-empuk gitu, ya? Bunda lihat dulu, deh.

         Satu lagi dosaku yang tercatat. Tidak hanya satu. Tapi sekaligus dua. Ngebohongin Bunda dan membiarkan kucing malang itu mati akibat tabrak lari. Memang aku, sih, yang salah, lupa baca doa keselamatan untuk seluruh hewan yang akan melintas di jalan raya itu. Dan sekarang? Aku maksa tidur bareng Bunda karena takut digentayangin arwah kucing yang menuntut balas.

         Tadi siang aku pulang bareng Bunda dengan diiringi omelan panjang kali lebar kali siku-siku dan sudut, karena dapat nilai 51. Bunda terus menerus bilang," Coba kamu contoh si Ajeng? Nilainya 90, Bon?"

         Dan aku tambah memperkeruh kemarahan Bunda saat dengan polosnya menyahut."Gimana mau contoh Ajeng, Bun? Kan dia duduknya di belakang!"

         Dan ketika aku kabur ke teras karena kesal dipaksa belajar untuk remedial besok, tiba-tiba ada seorang bapak turun  dari motornya. "Pizza delivery!"

         Pizza? Wow! Bunda baik banget! Dapet 51 saja dipesenin pizza. Apalagi dapat 100? Tapi senyumku langsung sirna saat si Bapak menanyakan sebuah alamat. Teryata pizza itu bukan milikku. Aku jadi makin kesal.

         "Pak Ari ya?" Aku nyengir. Kali ini aku engga akan bohong. Cuma iseng."Bapak lurus saja, terus belok kiri. Nanti lewati tiga lapangan bola dan satu lapangan golf. Nah, habis itu puterin kuburan cina sambil nunduk ke bawah."

         Si Bapak langsung berenti mencatat."kenapa nunduk ke bawah segala?" tanyanya heran. "lah, kalau dongak ke atas nanti kesandung pak?" jawabku serius. "Nah, di sebelahnya ada rumah hijau. Rumah pak Ari tepat di depannya."

         Tadi aku memang masih bisa tersenyum puas. Tapi sekarang? Bunda menghukum sekaligus menyelamatkanku dari amukan pengantar pizza setelah ia tahu bahwa rumah Pak Ari benar-benar ada di depan rumah bercat hijau, milik keluarga kami.

         Hari ini hari yang indah. Ada tiga pelajaran kosong, dan di jam matematika aku dan Dinar izin ke toilet sebentar, lalu singgah ke kantin.

         Seperti biasa, aku pesan nasi abon untuk makan siang. "ini nasi abonnya. "Bon," ujar ibu kantin dengan muka ditekuk.'Bon' versi ibu kantin adalah bon yang sebenarnya. Aku memang kerap ngebon nasi abon sama dia. Tapi tidak untuk hari ini. Aku akan menyicil hutangku mulai sekarang.

         "Bayarnya sekaligus saja, deh, Bon! Enggak usah nyicil segala!" Dia malah bilang gitu saat aku menyodorkan dua keping seratusan sebagai angsuran tahap pertama. Ah, ibu kantin terlalu emosi. Lagi datang bulan kali.

Hari ini aku ulang tahun. Dan aku enggak akan menodai hari bersejarah ini dengan satu kebohongan pun. Tapi tiba-tiba Dinar menjawilku sambil tersenyum, "Hey, nanti jangan lupa traktir ya, Bon!"

        

Hari ini aku ulang tahun. Dan aku enggan akan menodai hari bersejarah ini dengan satu kebohongan pun. Tapi tiba-tiba Dinar menjawilku sambil tersnyum, "Hey, nanti jangan lupa traktir ya, Bon!"

         Aku gelagapan, lalu spontan menyahut, "Ya, dompetnya ketinggalan." Dinar langsung kecewa. Dasar idiot! Kenapa bohong lagi, sih? Rusak deh hari ini! Aku menampar-nampar pipiku sendiri sampai-sampai Dinar menyangka temannya ini mendadak gila.

         Tapi aku berprinsip, show must go on. Masih ada kesempatan untuk membersihkan noda kebohongan yang aku ciptakan tadi pagi. Sambil memasang tampang ceria, kuluruhkan semua sifat pelit dan kikir yang berkuasa di dada. "Din, ternyata gue bawa dompet. Gue traktir lo makan!" Dinar langsung sumringah. "Oya? Makan apa kita?" "Nasi Abon." Dinar malah bengong.

         Mataku terpicing. Tiba-tiba saja tulisanku tak terbaca lagi. Sebuah bayangan besar menutupinya aku mendongak. Bu Citra berdiri di sampingku dengan wajah galak. Cepat-cepat kututup catatan harianku, lalu menyambar buku matematika di meja.

         "Bonita! Apa yang kita pelajari hari ini?!!"

         "Umm..." Aku membalik-balikan buku di tanganku dengan serius. "Algoritma?"

         Serentak terdengar gemuruh tawa dari seisi kelas. Bu Citra mendekatkan wajahnya padaku. Matanya tampak menyala-nyala garang. "BONITA KAMU PASTI SALAH BAWA BUKU!!"

         Aku tersentak kaget. Segera kubaca judul buku itu. Waduh! Ini diktat kuliah Mas Bona! Pantas berat...

         "Ngg...anu, Bun..." Aku spontan menutup mulut Nyaris saja melupakan perjanjian yang kami ikat sejak aku diterima di SMA ini. "Keterlaluan! Cepat berdiri di depan kelas!" suara Bu Citra terdengar lagi. Aku terkejut. Aku dihukum? Tapi... larangan nepotisme kan hanya berlaku pada nilai dan soal, bukan hukuman!

         Tapi Bu Citra malah melotot seram saat aku mencoba berargumen dengannya. Dengan langkah gontai dan diiringi bisik-bisik serta tawa terkikik dari bangku murid, aku berdiri di pojok kelas, sementara Bu Citra menerangkan sisa pelajaran selama 15 menit, sebelum bel pulang berbunyi. Memalukan . Bunda harusnya puas karena berhasil memamerkan keprofesionalannya sebagai guru. Baginya, semua yang salah harus kena libas, tak peduli itu darah dagingnya sendiri.

         "Bunda," ratapku bak Malin Kundang saat Bunda menggiringku masuk ke ruang guru. Aku akan disidang empat mata olehnya. Hatiku bertambah cemas saat kulihat ujung buku harianku tersembunyi dari balik saku blazernya. Sebentar lagi semua borokku akan terbongkar.

         "Bon, Bunda marah sama kamu. Pertama, kamu bikin Bunda malu karena salah bawa buku. Itu kesalahan terkonyol sepanjang sejarah Bunda sebagai guru!"

         Aku hanya menunduk. Bunda nyerocos lagi. "Kedua," ia menarik buku harianku dari sakunya. "Ini kan buku catatan materi Bunda, Bon! Kenapa kamu pakai?" Aku makin tertunduk. Buku harianku yang sebelumnya memang sudah habis. Lihat buku kosong tergeletak di rumah, langsung saja aku sambar.

         "Aduh, siapa yang mewarisi bengal kamu, Bon? Bunda sama Ayahmu waktu kecil enggak pernah senakal ini," ujarnya lagi. Aku diam saja. Kali ini aku berjanji tak akan meencari-cari alas an lagi. Toh Bunda akan tahu sendiri jawaban dari pertanyaan yang ia lontarkan tadi jika ia membaca seluruh isi buku harianku.

         Bunda sudah kehabisan kata-kata. Ia menghela napas pendek. Awalnya aku menyangka ia turut menyesal karena telah menularkan sel genetik yang membuatku mempunyai sifat ajaib seperti ini. Tapi teryata dugaanku meleset 100%. "Ya sudah, kamu pulang duluan sana. Bunda masih ada kerjaan. Oya, nanti kalau Bu RT datang nagih duit arisan, bilang Bunda lagi tugas ke Jayapura, ya," bisiknya pelan sambil mulai membolak-balik buku harianku.

***