Curhat Dua Blogger Cewek yang Pernah Mengalami Kekerasan dari Pacarnya. Posesif Belum Tentu Sayang

By Debora Gracia, Minggu, 26 November 2017 | 13:20 WIB
Curhat Dua Cewek yang Pernah Dihina, Diludahi, dan Dipukul oleh Pacarnya Sampai Menyebabkan Trauma (Debora Gracia)

Seseorang yang menyayangi kamu akan memperlakukan kamu dengan baik dan penuh kasih sayang. Ya, mudah untuk kita mengucapkan kebenaran tersebut karena pada kenyataannya enggak semua orang bisa membuktikan perkataannya.

Katanya sayang sama pacarnya, tapi malah dipukul. Katanya sayang sama pacarnya, tapi enggak dibuktikan dengan perbuatan.

Dua cewek ini pernah mengalami kekerasan dalam pacaran. Mereka membagi kisahnya bukan untuk ingin dikasihani, tapi mau berbagi kepada mereka di luar sana, mungkin termasuk kita, yang masih bungkam dan terjebak dalam hubungan yang enggak sehat.

Karena sejatinya, kekerasan dalam pacaran itu harus dihentikan.

(Baca juga: 35 Cewek Indonesia Jadi Korban Kekerasan Seksual Setiap Harinya)

Diangkat dari kisah nyata dari seorang blogger bernama Titaz, yang pernah berjuang untuk melawan rasa trauma setelah mengalami kekerasan dalam pacaran.

“Kejadiannya waktu aku masih kuliah, aku pernah pacaran dengan cowok yang satu jurusan denganku. Hanya dia setahun di bawah angkatanku.

Awalnya hanya teman main sampai akhirnya kami jadian, kira-kira 1,5 tahun lamanya. Dia cowok yang perhatian banget, selalu bersedia mengantar jemput aku ke mana-mana.

Apalagi dulu aku sudah bekerja sebagai penyiar radio, yang sering pulang larut, tapi dia selalu setia menemaniku. Bagiku dulu yang biasanya mandiri dan ke mana pun sendirian, aku senang punya pacar perhatian.

Kira-kira 6 bulan berjalan, dia mulai menunjukkan keanehan. Aku merasa jengah setiap dia ikut aku ke mana pun, mengikuti aku setiap aku pergi.

Marah kalau aku enggak bisa pulang bareng sama dia, kesal kalau aku ngobrol dengan teman cowokku. Dia juga sering menghina aku dengan secara enggak langsung bilang, ‘Kamu tuh bukan siapa-siapa tanpa aku. Kamu itu bodoh. Kamu itu lemah’.

Yang kemudian aku enggak sangka, efeknya berkepanjangan.

Dia mulai berani menoyorku kalau lagi kesal, menampar, dan mencengkeram lenganku dengan kuat. Saat itu aku masih mikir ‘ya udah lah’ dan membiarkannya. Itu bodoh banget, karena seharusnya jangan dibiarkan.

Aku pernah minta putus, tapi dia mengancam akan menyakiti hingga membunuh teman-temanku bahkan anggota keluargaku. Hal yang membuat aku menarik kembali ucapanku meskipun dia ketahuan selingkuh dua kali dengan temanku sendiri. Aku tetap memilih bersamanya.

(Baca juga: Cemburu Itu Wajar, Tapi Jangan Sampai Menyakiti Orang Lain Apalagi Teman Sendiri)

Dikurung dalam kamar

Hingga suatu hari, saat aku lagi main ke rumahnya, aku dikurung di kamarnya dan enggak boleh ke kampus hanya karena dia cemburu dengan satu orang temanku di kampus.

Pernah juga dia mengancam akan memukulku dengan tongkat baseball. Sayangnya ketika aku mengadu ke ibunya, ibunya malah membelanya.

Hal itu terus berlanjut, dia melarang aku bergaul dengan cowok, selalu mengecek handphone-ku, dan bilang kalau aku lemah. Aku jadi enggak percaya diri dan merasa lemah beneran.

Sampai akhirnya suatu hari, saat terlibat sebuah pertengkaran, dia menjedotkan kepalaku ke tembok hingga darah mengucur deras padahal keesokan harinya aku harus mengikuti UTS di kampus.

Di situlah aku tersadar, semua harus dihentikan. Dia memang minta maaf bahkan menyakiti dirinya sendiri supaya aku iba, sayangnya aku sudah tidak peduli saat itu.

Teman-temanku yang membuat aku bisa terlindung darinya, mereka menjagaku supaya aku enggak ketemu lagi dengan mantanku tersebut. Meski setiap hari, dia terus menerorku.

Akhirnya aku pun berani menceritakan kepada keluargaku dan aku rasa enggak akan bisa sembuh tanpa dukungan orang-orang terdekatku.

Setahun lebih aku berjuang dengan mimpi buruk bahwa ia akan datang kembali, butuh waktu lama supaya aku enggak lagi terngiang dengan hinaan yang dia berikan kepadaku.

Aku berani menceritakan ini karena aku enggak mau korban dan pelaku bertambah banyak. Karena sejatinya, yang korban pun bisa saja menjadi pelaku.

Ketika pacar sudah berkata kasar bahkan hingga menghina, kita harus sadar hubungan tersebut enggak perlu dilanjutkan.”

Diangkat dari kisah nyata seorang beauty blogger dengan inisial L, yang juga berhasil keluar dari pacaran yang enggak sehat.

“Aku pacaran dengan cowok ini dari semester dua kuliah, saat itu umurku 18 tahun. Pacarannya 3 tahunan. Tapi kekerasan fisik yang aku terima dimulai ketika usia pacaran memasuki usia 1,5 tahun.

Cowok yang juga teman sekelasku pas kuliah itu sudah kayak sahabatku sendiri, makanya kekecewaan aku enggak pernah bisa aku obati sampai detik ini. Aku sudah memaafkan tapi untuk menerima dia kembali walaupun hanya sebagai teman, aku enggak bisa.

Dia orangnya mudah temperamen. Masalah sekecil apapun bisa jadi besar buat dia. Anak pertama dari 3 bersaudara, si sulung yang juga dimanja oleh orangtua.

Kekerasan fisik yang paling aku ingat itu adalah ketika kita beradu pendapat dan ujung-ujungnya terjadi pemukulan, dan sebagainya.

Dia pernah meninju pipi kanan dan kiri sampai aku ngerasa ikhlas kalau aku harus mati saat itu juga. Dia juga menendang paha, memukul atas dada sampai berkali-kali, menjambak, memukul kepala, dan sebagainya.

Tentunya aku minta putus tapi dia sempat minta maaf sampai sujud-sujud minta pengampunan dan janji enggak akan mengulanginya lagi, yang ternyata bohong.

Sampai mendekati 3 tahun kami pacaran, kami kembali bertengkar. Kali ini lebih parah dari sebelumnya. Secara verbal, dia menghina-hina ibu dan bapakku, dan juga menghina aku sebagai perempuan.

Kata-kata yang enggak sepantasnya dilontarkan pada sesama manusia. Saat itu aku duduk di bawah dan menangis dan dia meludahi kepalaku juga menendangku sampai tiga kali.

Dari situ lah aku memutuskan untuk berpisah, untuk kebahagiaanku sendiri. Masa move on-nya memang enggak sebentar, sekitar 1 tahun.

Setiap orang membutuhkan dukungan di saat-saat terberatnya dan aku bersyukur punya sahabat, kedua orangtua, dan adikku yang selalu setia berada di sampingku.

Sampai sekarang, aku pernah beberapa kali terbangun dari mimpi buruk tapi aku beruntung punya suami yang dengan sabar menjaga dan memahamiku. Aku rasa aku sangat bersyukur dengan itu semua.

Kekerasan dalam pacaran itu enggak bisa dibiarkan, harus dihentikan. Meskipun kamu berkata kalau kamu terlalu sayang padanya. Dia enggak menghargaimu sebagai orang yang dia sayang, atau orang yang sayang padanya.

Dia enggak menghargai kamu sebagai seorang manusia yang bisa sakit secara fisik maupun mental. Lalu, apa yang harus dipertahankan?”

(Baca juga: Curhat Cewek 18 Tahun yang Diperkosa Pacar Sendiri Hingga Hamil, Lalu Terus Disakiti Lewat KDRT)

Being Silent Is Not Okay

Melihat contoh kisah dua cewek di atas, kita harusnya paham kalau kekerasan dalam pacaran bukan sesuatu yang harus dibiarkan atau didiamkan.

Kita enggak akan tahu berapa panjang efek yang akan dirasakan sesudahnya, maka yang paling bisa kita lakukan adalah mencegahnya sebelum bertambah parah.

Komnas Perempuan mencatat kekerasan dalam pacaran (KDP) yang terjadi tahun 2016 sebanyak 2.734 kasus dan kebanyakan yang menjadi korban adalah perempuan.

Kekerasan dalam pacaran melingkupi kekerasan fisik, kekerasan verbal, dan kekerasan seksual.

Kita pasti enggak mau angka tersebut terus bertambah setiap tahunnya, kan? Kalau saat ini kita menjadi korban, cara paling tepat adalah meminta pertolongan dari orang-orang terdekat kita.

Diam tidak selalu berarti emas. Kita enggak akan bisa keluar dari permasalahan tersebut kalau hanya diam saja. Juga kita bisa mencari perlindungan seperti ke Komnas Perempuan, atau HelpNona.

Kalau sekarang teman kita yang sedang mengalaminya, hal yang harus kita lakukan jangan menghakiminya apa lagi menyalahkannya. Tapi kita harus terus mendukungnya dan melindunginya.

Karena sebenarnya yang dibutuhkan seorang korban kekerasan pacaran bukannya disalahkan tapi perasaan aman.

(BacaPikiran Untuk Bunuh Diri Datang Tanpa Disadari & Sering Dianggap Remeh. Waspada Sebelum Terlambat)