Parameter tentang pasal 156 KUHP yang selama ini dijadikan acuan hukum memang perlu dilihat lebih dalam.
Sampai sejauh mana seseorang dianggap telah menodakan agama tertentu?
Tentunya pasal ini enggak hanya ditujukan untuk satu agama saja, tapi kepada semua agama yang diakui di Indonesia.
Kalau menurut Ketua Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Kumham, Enny Nurbaningsih, dikutip dari Kompas.com, menegaskan pasal penodaan agama yang terdapat dalam pasal 156 KUHP masuk dalam delik materiil.
Artinya, tindak pidana yang dijerat pasal tersebut harus dibuktikan akibatnya terlebih dahulu. Dengan demikian tindak pidana penistaan agama dinyatakan bersalah jika terbukti membawa akibat yang nyata.
(Baca juga: Ribut Soal Intoleransi di Medsos, Ternyata Begini Reaksi Para Remaja)
Pasal KUHP tentang penistaan dan penodaan agama sempat diajukan beberapa pihak untuk direvisi bahkan dihilangkan, terutama pasal 156 a.
Revisi ini disusul oleh kasus dari mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, yang dihukum karena melanggar pasal 156 a KUHP tentang penodaan agama.
Tapi revisi nyatanya enggak pernah terjadi, seperti dikutip dari Kompas.com, akhir Mei lalu. Anggota Komisi III DPR Arsul Sani pasal mengenai penodaan agama enggak akan dihapuskan dari KUHP.
Pengajuan tersebut dianggap enggak bisa mewakili suara rakyat Indonesia, melainkan hanya dilakukan oleh sebagian kecil kelompok masyarakat yang diwakili aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM).
Keputusan untuk mempertahankan pasal ini mendapat dukungan juga dari Mahkamah Konstitusi (MK).