Indonesia adalah negara pluralitas, yang terdiri dari berbagai ras dan agama yang dianut oleh masyarakatnya. Ada 6 agama yang diakui di Indonesia yaitu Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Budha, dan Khong Hu Cu.
Kita yang juga termasuk penganut dari salah satu dari agama tersebut sudah dilindungi oleh negara. Yang dicantumkan dalam Undang-undang Dasar 1945.
Berada dalam negara pluralitas, kita semestinya harus saling menghormati agama dan kepercayaan orang lain. Enggak terlepas dari tujuannya untuk menciptakan kedamaian di negeri ini.
Kasus penistaan dan penodaan agama berangkat dari pluralitas itu sendiri. Adanya hukum yang membuat peraturan untuk enggak menyatakan permusuhan pada agama, sebagai upaya untuk menghindari konflik yang diinginkan.
Lalu, sebenarnya apa yang tercantum dalam pasal penistaan dan penodaan agama sebenarnya?
Kita mungkin sering membaca atau menonton kasusnya, tapi kurang paham dengan hukum yang mengaturnya.
Ketentuan mengenai penodaan dan penistaan agama telah diatur dalam dua dasar hukum, yaitu Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 1/PNPS Tahun 1965 tentang pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama dan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 156.
Di mana dari dua dasar hukum tersebut hukuman paling berat untuk pelaku yang terbukti melakukan kesalahan penistaan dan penodaan agama adalah lima tahun.
Parameter tentang pasal 156 KUHP yang selama ini dijadikan acuan hukum memang perlu dilihat lebih dalam.
Sampai sejauh mana seseorang dianggap telah menodakan agama tertentu?
Tentunya pasal ini enggak hanya ditujukan untuk satu agama saja, tapi kepada semua agama yang diakui di Indonesia.
Kalau menurut Ketua Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Kumham, Enny Nurbaningsih, dikutip dari Kompas.com, menegaskan pasal penodaan agama yang terdapat dalam pasal 156 KUHP masuk dalam delik materiil.
Artinya, tindak pidana yang dijerat pasal tersebut harus dibuktikan akibatnya terlebih dahulu. Dengan demikian tindak pidana penistaan agama dinyatakan bersalah jika terbukti membawa akibat yang nyata.
(Baca juga: Ribut Soal Intoleransi di Medsos, Ternyata Begini Reaksi Para Remaja)
Pasal KUHP tentang penistaan dan penodaan agama sempat diajukan beberapa pihak untuk direvisi bahkan dihilangkan, terutama pasal 156 a.
Revisi ini disusul oleh kasus dari mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, yang dihukum karena melanggar pasal 156 a KUHP tentang penodaan agama.
Tapi revisi nyatanya enggak pernah terjadi, seperti dikutip dari Kompas.com, akhir Mei lalu. Anggota Komisi III DPR Arsul Sani pasal mengenai penodaan agama enggak akan dihapuskan dari KUHP.
Pengajuan tersebut dianggap enggak bisa mewakili suara rakyat Indonesia, melainkan hanya dilakukan oleh sebagian kecil kelompok masyarakat yang diwakili aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM).
Keputusan untuk mempertahankan pasal ini mendapat dukungan juga dari Mahkamah Konstitusi (MK).
Kasus pelanggaran terhadap hukum kasus penistaan dan penodaan agama di Indonesia telah banyak terjadi. Sebagian terbukti, sebagian juga enggak.
Mungkin kita masih ingat dengan kasus Ahok yang akhirnya terbukti melanggaran hukum penistaan dan penodaan agama, dengan keputusan hakim yaitu hukuman dua tahun di penjara.
Jauh sebelum kasus Ahok, pelanggaran penodaan agama yang sempat banyak dibicarakan dilakukan oleh Arswendo Atmowiloto saat menjadi pemimpin redaksi Majalah Monitor tahun 1990.
Majalah tersebut mengumumkan hasil survei mengenai tokoh yang paling diidolakan masyarakat Indonesia. Urutan pertama diduduki oleh Soeharto, yang saat itu menjadi Presiden RI. Nabi Muhammad berada di urutan ke sebelas, yang berujung pada protes serta unjuk rasa. Arswendo pun diproses secara hukum.
Tapi ada juga kasus penistaan dan penodaan agama yang dibebaskan dari tuduhan atau dakwaan. Sebut saja salah seorang Indonesia, Jonas Rivanno, yang dilaporkan oleh Front Pembela Islam (FPI) Depok karena diduga telah melakukan penodaan pada agama Islam. Hal tersebut terjadi setelah ia membantah telah menjadi mualaf dan menikahi Asmirandah.
Ada juga kasus Gus Jari bin Supardi dari Jombang, yang mengaku dirinya adalah nabi akhir zaman, Nabi Isa Habibulloh dilaporkan sebagai penodaan terhadap agama Islam. Namun setelah proses mediasi, Gus Jari meminta maaf dan bertobat, juga meninggalkan ajaran-ajarannya sehingga ia enggak jadi dipidana.
Baru-baru ini, Kaesang, putra bungsu dari Presiden Republik Indonesia Joko Widodo, dikabarkan telah dilaporkan ke polisi karena isi vlog-nya yang dianggap melecehkan agama tertentu.
Kaesang memang dikenal sering nge-vlog di YouTube dengan konten yang ringan dan menghibur, terlepas dari statusnya sebagai anak dari orang nomor satu di Indonesia.
(Baca di sini: 5 Info soal Kaesang yang Dilaporkan ke Polisi Karena Dugaan Penodaan Agama)
Video dari YouTube-nya yang dilaporkan ke polisi dengan tuduh penistaan agama berjudul #BapakMintaProyek yang diunggah pada 27 Mei 2017. Yaitu sebagai berikut:
Sampai artikel ini diturunkan, laporan pengaduan ini masih dalam proses dan belum bisa dipastikan hasil akhirnya.
Tindakan penistaan dan penodaan agama ini memang sangat rentan menyinggung pihak-pihak tertentu. Sebagai seorang remaja Indonesia pun kita harus lebih peka untuk toleransi kepada teman-teman yang mempunyai suku, ras, dan agamanya masing-masing.
Dengan begitu, keindahan pluralitas di Indonesia akan semakin tercermin dengan baik.
(Baca juga: Keuntungan Hidup di Negara dengan Beragam Suku Bangsa & Agama yang Sering Kita Lupakan)