Masih ingat dengan curhat perjuangan sahabat kita yang bernama Merida* (nama disamarkan) tempo hari? Menjadi penyintas kekerasan seksual yang dilakukan oleh orang yang dia sayangi butuh perjuangan yang berat.
Salah satunya adalah harus tahan dengan banyaknya orang yag menyalahkan dia. Padahal dalam kasus itu, Merida jelas-jelas yang menjadi korbannya.
Diskriminasi yang mengarah ke perlakuan victim blaming pun kerap dialami Merida. Yuk, dengarkan kisah Merida lebih lanjut dan pahami juga alasan kenapa enggak seharusnya kita melakukan victim blaming.
(Baca juga: Curhat Perjuangan Cewek yang Pernah Diperkosa Sama Gebetannya & Didiskriminasi. Bahkan Oleh Perempuan Lain!)
Menjadi korban kekerasan seksual, jelas siapa pun enggak akan bisa bertahan memendam masalahnya seorang diri. Pasti dia ingin menceritakan ke seseorang untuk mencari support yang menenangkan dia. Hal serupa juga dialami Merida pada waktu itu.
“Pernah aku cerita ke seorang teman perempuan soal masalahku. Tapi bukan dukungan yang aku dapatkan, tapi rasa belas kasih yang bikin aku makin down. Dia bilang ‘Sayang banget ya, siapa nantinya yang mau nerima kamu’.”
Enggak banyak yang tahu seberapa kuat suatu kata-kata bisa memengaruhi reaksi seseorang. Rasa belas kasihan yang dia katakan, justru bisa membuat korban merasa enggak layak.
Perlakuan victim blaming juga dirasakan Merida dalam perjalanannya menemukan psikolog yang tepat. Salah satu psikolog yang sempat menjadi partner konselingnya, justru malah menyalahkan Merida.
“Sebelum kenal sama psikologku yang sekarang, aku sempat gonta-ganti psikolog. Ada salah satunya yang malah menyalahkanku. Dia bilang, ‘Kamu pakai jilbab kok bisa, sih, diperkosa?’”
Masih banyak orang yang beranggapan kalau pakaian memengaruhi perilaku kekrasan seksual. Padahal enggak peduli baju apa yang dipakai, kekerasan seksual tetap saja bisa terjadi.
Satu lagi diskriminasi mengarah ke perilaku victim blaming yang dialami oleh Merida adalah ketika dia ingin menceritakan kekerasan seksual yang dia alami kepada tunangan si pelaku.