Alasannya enggak lain karena pengin menyelamatkan tunangannya dan anaknya di masa mendatang. Tapi bukan ucapan terimakasih, Merida malah kembali disalahkan.
“Sambil nangis dia bilang, ‘Yaudah kita enggak jadi nikah. Puas kamu udah ngehancurin hubunganku sama dia?’.”
(Baca juga: 40% Kasus Kekerasan Seksual Dibungkam dan Terhenti di Tengah Jalan. Salah Siapa?)
Salah satu alasan seseorang melakukan victim blaming adalah untuk memisahkan kondisi mereka dengan kondisi buruk yang dialami oleh korban. Biasanya, seseorang yang melakukan victim blaming ini karena mereka enggak bisa menempatkan diri dalam kondisi si korban.
Secara enggak langsung, pelaku victim blaming seolah-olah berkata, ‘Karena aku bukan dia. Aku enggak mengalami kekerasan seksual dan hal itu enggak akan terjadi kepadaku’
Padahal, kekerasan seksual bisa terjadi kepada siapa pun tanpa pandang bulu. Kekerasan seksual bisa terjadi pada yang berusia muda maupun dewasa, yang berpakaian seksi maupun yang memakai jilbab.
Perilaku victim blaming membawa dampak yang berbahaya bagi korbannya. Salah satu yang paling sering terjadi adalah, korban/penyintas menjadi takut untuk mengungkapkan perilaku kekerasan seksual yang mereka alami ke pihak berwajib atau saat ingin meminta bantuan support.
Perilaku victim blaming seakan mengamini ucapan pelaku yang mengklaim bahwa kekerasan seksual itu bisa terjadi karena perilaku korban/penyintas yang menggoda si pelaku. Padahal, kejadian ini bukan kesalahan dan tanggung jawab korbannya.
Menurut southernct.edu, ada empat cara yang bisa kita lakukan untuk melawan victim blaming, yakni;