Banyak Cewek Korban Perkosaan yang Disalahkan! Ini Alasan Kita Enggak Boleh Melakukan Victim Blaming!

By Indra Pramesti, Selasa, 20 Februari 2018 | 03:42 WIB
Ini dia alasan kenapa kita enggak boleh melakukan victim blaming! (Indra Pramesti)

Masih ingat dengan curhat perjuangan sahabat kita yang bernama Merida* (nama disamarkan) tempo hari? Menjadi penyintas kekerasan seksual yang dilakukan oleh orang yang dia sayangi butuh perjuangan yang berat.

Salah satunya adalah harus tahan dengan banyaknya orang yag menyalahkan dia. Padahal dalam kasus itu, Merida jelas-jelas yang menjadi korbannya.

Diskriminasi yang mengarah ke perlakuan victim blaming pun kerap dialami Merida. Yuk, dengarkan kisah Merida lebih lanjut dan pahami juga alasan kenapa enggak seharusnya kita melakukan victim blaming.

(Baca juga: Curhat Perjuangan Cewek yang Pernah Diperkosa Sama Gebetannya & Didiskriminasi. Bahkan Oleh Perempuan Lain!)

Menjadi korban kekerasan seksual, jelas siapa pun enggak akan bisa bertahan memendam masalahnya seorang diri. Pasti dia ingin menceritakan ke seseorang untuk mencari support yang menenangkan dia. Hal serupa juga dialami Merida pada waktu itu.

“Pernah aku cerita ke seorang teman perempuan soal masalahku. Tapi bukan dukungan yang aku dapatkan, tapi rasa belas kasih yang bikin aku makin down. Dia bilang ‘Sayang banget ya, siapa nantinya yang mau nerima kamu’.”

Enggak banyak yang tahu seberapa kuat suatu kata-kata bisa memengaruhi reaksi seseorang. Rasa belas kasihan yang dia katakan, justru bisa membuat korban merasa enggak layak.

Perlakuan victim blaming juga dirasakan Merida dalam perjalanannya menemukan psikolog yang tepat. Salah satu psikolog yang sempat menjadi partner konselingnya, justru malah menyalahkan Merida.

“Sebelum kenal sama psikologku yang sekarang, aku sempat gonta-ganti psikolog. Ada salah satunya yang malah menyalahkanku. Dia bilang, ‘Kamu pakai jilbab kok bisa, sih, diperkosa?’

Masih banyak orang yang beranggapan kalau pakaian memengaruhi perilaku kekrasan seksual. Padahal enggak peduli baju apa yang dipakai, kekerasan seksual tetap saja bisa terjadi.

Satu lagi diskriminasi mengarah ke perilaku victim blaming yang dialami oleh Merida adalah ketika dia ingin menceritakan kekerasan seksual yang dia alami kepada tunangan si pelaku.

Alasannya enggak lain karena pengin menyelamatkan tunangannya dan anaknya di masa mendatang. Tapi bukan ucapan terimakasih, Merida malah kembali disalahkan.

“Sambil nangis dia bilang, ‘Yaudah kita enggak jadi nikah. Puas kamu udah ngehancurin hubunganku sama dia?’.

(Baca juga: 40% Kasus Kekerasan Seksual Dibungkam dan Terhenti di Tengah Jalan. Salah Siapa?)

Salah satu alasan seseorang melakukan victim blaming adalah untuk memisahkan kondisi mereka dengan kondisi buruk yang dialami oleh korban. Biasanya, seseorang yang melakukan victim blaming ini karena mereka enggak bisa menempatkan diri dalam kondisi si korban.

Secara enggak langsung, pelaku victim blaming seolah-olah berkata, ‘Karena aku bukan dia. Aku enggak mengalami kekerasan seksual dan hal itu enggak akan terjadi kepadaku’

Padahal, kekerasan seksual bisa terjadi kepada siapa pun tanpa pandang bulu. Kekerasan seksual bisa terjadi pada yang berusia muda maupun dewasa, yang berpakaian seksi maupun yang memakai jilbab.

Perilaku victim blaming membawa dampak yang berbahaya bagi korbannya. Salah satu yang paling sering terjadi adalah, korban/penyintas menjadi takut untuk mengungkapkan perilaku kekerasan seksual yang mereka alami ke pihak berwajib atau saat ingin meminta bantuan support.

Perilaku victim blaming seakan mengamini ucapan pelaku yang mengklaim bahwa kekerasan seksual itu bisa terjadi karena perilaku korban/penyintas yang menggoda si pelaku. Padahal, kejadian ini bukan kesalahan dan tanggung jawab korbannya.

Menurut southernct.edu, ada empat cara yang bisa kita lakukan untuk melawan victim blaming, yakni;

Sikapnya yang menceritakan kejadian tersebut, secara enggak langsung menyiratkan kalau dia meminta bantuan kita. Dengan memberi support kepadanya, kita jadi menumbuhkan lingkungan yang sehat buat dia.

Korban/penyintas enggak bertanggung jawab terhadap kesalahan yang dia lakukan.

Sehingga, udah sewajarnya kalau kita enggak tambah menyalahkan dia atas kejadian buruk yang dia alami.

Enggak ada yang bisa dibenarkan dari tindakan pemerkosaan. Pelaku jelas salah karena memaksakan kehendaknya di atas korban.

Lucunya, sudah berbuat salah, mereka kadang enggak punya malu dan malah menyalahkan korban, atau faktor lain seperti pakaian yang mengundang nafsu atau alkohol.

Bystander yang aktif adalah mereka yang menyaksikan, tapi berusaha membantu korban dan mencegah terjadinya tindakan victim blaming.

Kita bisa melakukannya dengan cara terlibat langsung menghentikan pelaku victim blaming atau memberi dukungan secara enggak langsung seperti ikut kampanye anti diskriminasi terhadap penyintas kekerasan seksual.

(Baca juga: Curhat Cewek 18 Tahun yang Diperkosa Pacar Sendiri Hingga Hamil, Lalu Terus Disakiti Lewat KDRT)