Belajar dari Annisa, Penyandang Disabilitas yang Didiskriminasi Ojek Online, Ini Cara Kita Memperlakukan Penyandang Disabilitas

By Indra Pramesti, Rabu, 28 Maret 2018 | 04:11 WIB
Penyandang disabilitas memiliki hak yang sama seperti kita! (Indra Pramesti)

Kasus diskriminasi kepada penyandang disabilitas memang bukan kali pertama kita temui. Setidaknya, hal seperti ini mungkin sudah sering dialami teman-teman penyandang disabilitas kita.

Seperti halnya yang dialami oleh Annisa Rahmania, penyandang disabilitas rungu, yang disikriminasi oleh seorang ojek online, hari Selasa (27/3) tempo hari. Annisa akhirnya melaporkan kejadian tersebut langsung ke akun official ojek online tersebut, yakni GrabID.

Enggak berhenti sampai di Annisa, ternyata kasus yang menimpanya tersebut viral di media sosial Instagram berkat postingan dari Surya Sahetapy, aktivis sekaligus penyandang disabilitas rungu, serta di-repost oleh akun @dramaojol.id.

Banyak kecaman dan respon dari pengguna media sosial hingga mendapat tanggapan dari GrabID yang meminta maaf dan memberi konfirmasi, berikut juga keterangan yang disampaikan oleh pemilik akun pengemudi Grab yang viral tersebut.

Well, meskipun masalah ini sudah selesai, dengan tanggapan dan permintaan maaf dari pihak Grab dan pengemudi, kita enggak boleh cepat melupakan kejadian ini begitu saja. Diskriminasi tetaplah hal yang salah dan enggak seharusnya kita lakukan.

Sebenarnya pelajaran apa sih yang bisa kita dapatkan dari kasus Annisa dan diskriminasi yang dia alami ini? Yuk, simak artikel berikut!

Disabilitas seringkali dipahami berbeda kemampuan, berkebutuhan khusus, atau mempunyai cara berbeda untuk melakukan sesuatu. Bahkan enggak jarang ada yang memberi stigma atau labeling seperti cacat, sakit, idiot, lumpuh, tuli, gagap, tidak normal, dan sebagainya.

Padahal sebenarnya, ada istilah yang lebih maju, yaitu difabel yang dimaknai bahwa setiap orang yang disebut disable hanya memiliki cara berbeda dalam melakukan sesuatu. Misalnya disabilitas netra sebenarnya bisa melihat, tapi melihat dengan menggunakan indra lain. Disabilitas rungu sebenarnya sebenarnya bisa mendengar, namun menggunakan bahasa isyarat atau alat bantu. Disabel daksa sebenarnya bisa berjalan, walaupun menggunakan tongkat atau kursi roda, dll.

Intinya, penyandang disabilitas adalah sama seperti kita. Sama-sama manusia yang memiliki hak yang sama tanpa harus dibeda-bedakan kebutuhannya. Dalam menggunakan jasa atau fasilitas publik, difabel juga memiliki hak yang sama seperti kita, untuk dihargai dan dihormati sebagai seorang pengguna. Difabel juga berhak mendapat perlakuan yang sopan.

Kita enggak perlu menempatkan diri sebagai seseorang yang memiliki anak, saudara, atau teman dengan disabilitas untuk bisa memahami keadaan atau bisa menghargai mereka. Tempatkan diri kita sebagai manusia yang sama seperti mereka saja, dengan begitu kita akan lebih memahami mereka tanpa perlu membeda-bedakan.

Dikutip dari buku berjudul Disability Etiquette – Tips on Interacting People with Disabilities terbitan ASB (arbeiter-Samariter-Bund) Deutsland e.V, setidaknya ada 6 hal-hal dasar dalam memperlakukan seorang penyandang disabilitas, yakni;

Meskipun menyandang siabilitas tertentu, kita enggak perlu beranggapan bahwa dia selalu membutuhkan pertongan. Jika lingkungannya aksesibel, difabel biasanya bis amelakukan segala sesuatu dengan baik.

Bahkan seorang difabel dewasa mengharapkan dirinya diperlakukans ebagai pribadi mandiri. Tawarkan bantuan hanya ketika mereka mmebutuhkan bantuan. Lalu tanyakan, bagaimana kita bisa membantu mereka sebelum melakukannnya.

Beberapa penyandang disabilitas bergantung pada kedua tangan mereka untuk menjaga keseimbangan. Memegang kedua tangan mereka, meski kita bermaksud buat membantu, justru bisa membuatnya kehilangan keseimbangan, lho. Hindari menepuk kepala, memegang kursi roda atau pun tongkatnya. Difabel menganggap alat bantu mereka sebagai bagian dari hal personal mereka.

Meski ada penerjemah di antara kita, sebaiknya kita tetap berbicara langsung kepada penyandang disabilitas, bukan kepada pendamping atau penerjemahnya. Percakapan yang ringan dengan penyandang disabilitas merupakan hal yang baik, dan berbicaralah kepadanya sebagaimana kita melakukannya kepada orang lain. Pastikan juga untuk menghormati privasinya.

Sama seperti kita, penyandang disabilitas juga mampu melakukan suatu pekerjaan dengan baik. Mereka bisa mengambil keputusan terbaik tentang apa yang bisa atau pun enggak bisa mereka lakukan. Jadi kita enggak perlu mengambil keputusan untuk mereka soal bagaimana mereka terlibat dalam aktivitas tertentu.

Sama seperti kita yang sesekali memiliki permintaan dan butuh bantuan, penyandang disabilitas juga enggak jauh beda. Mereka juga kadang memiliki permintaan yang sama. Ketika mereka mengemukakannya, sebaiknya kita menanggapi dengan sopan dan ramah, sebagaimana kita menanggapi teman-teman kita pada pada umumnya.

Jika kita enggak bisa mewujudkan permintaan tersebut, kita juga bisa kok, mengatakan ketidakmampuan kita dengan cara yang tetap santun dan ramah.

Penggunaan istilah yang mengacu pada penyandang disabilitas sangat penting buat kita ketahui. Seperti penggunaan ‘penyandang disbailitas/difabel’ yang lebih baik ketimbang penggunaan kata ‘orang cacat’.

Penyandang disabilitas tidak butuh atau tidak ingin dikasihani. Enggak seharusnya juga mereka dianggap ‘berani’ atau ‘istimewa’ apabila mereka berhasil menyelesaikan kegiatan atau pekerjaan sehari-hari. Demikian dikutip dari King County, Kantor Hak Asasi Manusia, Etiket, dan Bahasa Disabilitas.

Penyandang disabilitas juga enggak suka dengan istilah-istiah eufemisme (memperhalus) seperti ‘terhalang secara fisik’ ‘terhalang pendengaran/penglihatannya’ dan ‘kemampuan berbeda’. Orang lain mungkin tidak keberatan dengan istilah itu, tapi umumnya lebih sopan menyebut orang yang kehilangan pendengaran tetapi masih dapat berkomuniasi dengan bahasa percakapan dengan istilah ‘sulit mendengarkan’ atau ‘tunarungu’ untuk yang kehilangan pendengaran sama sekali.

Yuk, mulai sekarang lebih peduli lagi sama isu-isu seperti ini, ya, girls!