Sepasang remaja yang masih duduk di bangku SMP di Bantaeng, Sulawesi Selatan, mendaftarkan perkawinan mereka ke KUA Kecamatan Bantaeng. Yang mengejutkan adalah usia calon pengantin, yaitu 15 tahun 10 bulan untuk calon pengantin pria, dan 14 tahun 9 bulan untuk perempuan.
Pendaftaran perkawinan ini sempat ditolak karena tidak memenuhi syarat batas usia pernikahan yang ditetapkan di Indonesia, yaitu 19 tahun untuk laki-laki, dan 16 tahun untuk perempuan. Namun, mereka meminta dispensasi atas ketentuan umur ke Pengadilan Agama Bantaeng, dan dibantu oleh keluarga, akhirnya, izin untuk menikah pun mereka dapatkan.
Adapun alasan dari dilaksanakannya pernikahan ini cukup membuat kita mengerutkan dahi, yaitu karena takut tidur sendiri.
Pertanyaannya, apakah alasan seperti itu cukup kuat untuk melangsungkan pernikahan di usia yang masih sangat muda? Jawabannya, tentu saja tidak.
(Baca juga: dampak negatif pernikahan dini untuk kita)
Pernikahan dini ini sayangnya sering kita temukan di Indonesia. Bahkan, bisa dibilang Indonesia termasuk salah satu negara dengan angka pernikahan dini tertinggi.
Sebelum pasangan remaja ini, beberapa kasus pernikahan dini pernah cukup menghebohkan.
Mei 2017, seorang perempuan berumur 15 tahun di Sumatera Selatan mengunggah foto pernikahannya. Atau kejadian di Juli 2017, ketika seorang remaja 18 tahun menikah dengan kakek 62 tahun di Kabupaten Gowa. Juga pasangan remaja A (15) dan A (16) yang menikah muda di Kabuparen Polewari Mandar, Sulawesi Barat.
Bicara soal hal ini ada beberapa alasan yang menyebabkan terjadinya pernikahan ini.
- Budaya atau tradisi yang berlaku di suatu daerah sehingga lumrah jika anak belasan tahun sudah menikah.
- Masalah ekonomi, sehingga menikahkan anak seringkali dianggap sebagai jalan keluar menyelesaikan masalah.
- Kehamilan yang tidak diinginkan.
- Keterbatasan akan informasi dan pengetahuan seputar bahaya pernikahan dini.
- Pemaksaan pernikahan, biasanya dilakukan oleh keluarga dan lingkungan.
- Kepercayaan yang berkembang di masyarakat, seperti tidak sopan menolak lamaran, takut anak akan menjadi perawan tua, takut anak terjerumus seks bebas.
- Ketidaksetaraan gender. Menurut Sosiolog Dr. Ida Ruwaida, budaya patriarki yang masih kuat menempatkan posisi tawar perempuan jadi lebih rendah dan lemah, ditambah kultur kolektivitas yang kuat, sehingga praktik perjodohan seorang anak perempuan bisa saja terjadi, seperti dikutip dari NationalGeographic.co.id.
(Baca juga: 5 hak perempuan yang masih sering terabaikan dan terenggut begitu saja)
Yup, ada beberapa daerah di Indonesia yang menganggap lumrah hal ini. Bahkan, ketika seorang remaja tidak menikah, bisa saja mereka menerima desakan dari lingkungan sekitar untuk segera menikah.