Usia Remaja Saatnya Untuk Belajar & Mengembangkan Potensi Diri, Bukan Untuk Menikah

By Ifnur Hikmah, Rabu, 9 Mei 2018 | 03:33 WIB
Yuk kita tolak praktik pernikahan dini (Ifnur Hikmah)

Sepasang remaja yang masih duduk di bangku SMP di Bantaeng, Sulawesi Selatan, mendaftarkan perkawinan mereka ke KUA Kecamatan Bantaeng. Yang mengejutkan adalah usia calon pengantin, yaitu 15 tahun 10 bulan untuk calon pengantin pria, dan 14 tahun 9 bulan untuk perempuan.

Pendaftaran perkawinan ini sempat ditolak karena tidak memenuhi syarat batas usia pernikahan yang ditetapkan di Indonesia, yaitu 19 tahun untuk laki-laki, dan 16 tahun untuk perempuan. Namun, mereka meminta dispensasi atas ketentuan umur ke Pengadilan Agama Bantaeng, dan dibantu oleh keluarga, akhirnya, izin untuk menikah pun mereka dapatkan.

Adapun alasan dari dilaksanakannya pernikahan ini cukup membuat kita mengerutkan dahi, yaitu karena takut tidur sendiri.

Pertanyaannya, apakah alasan seperti itu cukup kuat untuk melangsungkan pernikahan di usia yang masih sangat muda? Jawabannya, tentu saja tidak.

(Baca juga: dampak negatif pernikahan dini untuk kita)

Pernikahan dini ini sayangnya sering kita temukan di Indonesia. Bahkan, bisa dibilang Indonesia termasuk salah satu negara dengan angka pernikahan dini tertinggi.

Sebelum pasangan remaja ini, beberapa kasus pernikahan dini pernah cukup menghebohkan.

Mei 2017, seorang perempuan berumur 15 tahun di Sumatera Selatan mengunggah foto pernikahannya. Atau kejadian di Juli 2017, ketika seorang remaja 18 tahun menikah dengan kakek 62 tahun di Kabupaten Gowa. Juga pasangan remaja A (15) dan A (16) yang menikah muda di Kabuparen Polewari Mandar, Sulawesi Barat.

Bicara soal hal ini ada beberapa alasan yang menyebabkan terjadinya pernikahan ini.

(Baca juga: 5 hak perempuan yang masih sering terabaikan dan terenggut begitu saja)

Yup, ada beberapa daerah di Indonesia yang menganggap lumrah hal ini. Bahkan, ketika seorang remaja tidak menikah, bisa saja mereka menerima desakan dari lingkungan sekitar untuk segera menikah.

Seumur hidup, kita melewati berbagai fase, mulai dari bayi, balita, anak-anak, remaja, dewasa muda, dewasa pertengahan, dan seterusnya. Di antara semua fase ini, di usia remajalah kita mengalami perubahan paling banyak. Baik dari segi biologis, atapun psikologis.

Dari segi biologis, tubuh mengalami perubahan, salah satunya mulai matangnya organ seksual, baik primer maupun sekunder dan kita pun siap untuk bereproduksi. Hal tersebut juga diikuti dengan adanya perkembangan kognitif, yaitu kita mulai merasakan adanya dorongan seksual dan ketertarikan terhadap lawan jenis.

Namun, apakah hal itu membuat kita sudah siap untuk menikah?

Sebelumnya, kita juga tidak bisa mengabaikan faktor psikologi. Menurut psikolog Roslina Verauli, seseorang dinyatakan dewasa yaitu ketika dia berusia di atas 20 tahun, dan di saat inilah seseorang sudah mengalami kematangan dalam hal perkembangan emosional dan sosial.

“Dari segi biologis memang sudah matang, tapi bukan berarti begitu menstruasi pertama kita sudah langsung siap untuk hamil dan melahirkan. Hal ini juga harus dikaitkan dengan faktor psikologis. Individu dianggap siap secara mental ketika berusia di atas 20 tahun sehingga dia bisa mengeliminasi risiko dan menghilangkan dampak yang mungkin timbul akibat pernikahan dini,” jelas Vera.

Ada banyak risiko yang mengintai dan diprediksi akan terjadi jika kita menikah di saat sebenarnya kita belum siap.

Dampak lainnya seperti hamil dan melahirkan di usia dini bisa meningkatkan risiko kematian pada ibu karena organ reproduksi yang belum sepenuhnya matang dan masalah keuangan. “Sehingga bisa terjadi perceraian dan pernikahan yang tidak bahagia, itu salah satunya karena kita belum siap mental dan mandiri secara emosional untuk mengatasi setiap masalah,” jelas Vera.

Bicara soal pernikahan, ada dua hal yang harus kita pahami, yaitu:

“Keduanya harus sejalan. Ketika dia merasa siap untuk menikah dengan orang yang dicintai, tapi usianya belum mencukupi, itu berarti belum seharusnya dia menikah. Atau dia menikah dengan tujuan lain, seperti tidak ingin sendiri, itu termasuk motif pernikahan negatif,” beber Veraa.

(Baca juga: 8 kisah tragis cewek modern yang harus menderita karena dilahirkan sebagai perempuan)

Karena itu, pernikahan bukanlah hal sepele yang bisa kita putuskan dalam waktu sesaat. Terlebih di usia remaja, ketika seharusnya pernikahan bukan menjadi hal yang seharusnya menyita perhatian kita.

Remaja merupakan saatnya kita mencari identitas diri, saatnya memahami dan mengenal siapa diri kita yang sebenarnya. Karena itu, sudah seharusnya kita memanfaatkan masa ini untuk benar-benar memahami dan bisa mengerti diri kita sepenuhnya.

“Di usia remaja, itu saatnya kita mengerti strength dan weakness yang kita miliki. Dengan memahami kekuatan, itu artinya kita bisa mengembanhkannya sehingga kita pun tumbuh menjadi individu yang independen,” jelas Vera.

Atau dengan kata lain, usia remaja itu saatnya kita belajar dan mengembangkan potensi diri, bukan menikah.

Dan sebagai seorang individu, kita berhak menolak jika dipaksa untuk menikah. “Pernikahan usia anak adalah pelanggaran terhadap hal anak. Hal ini sanagt memengaruhi anak perempuan dan membahayakan kehidupan serta mata pencaharian mereka. Dengan melindungi anak perempuan dari perkawinan usia anak, mereka akan memiliki kesempatan bertahan dan berkembang jadi lebih baik,” jelas Gunilla Olsson, Kepala Perwakilan UNICEF, seperti dikutip dari jurnas.com.

Seperti Sanita Rini, yang menolak dengan tegas ketika akan dinikahkan oleh orangtuanya ketia dia berusia 13 tahun. Baca cerita soal Sarita selengkapnya di sini.

Kalau kamu, bagaimana pendapatmu tentang pernikahan dini ini?