Hal ini dikarenakan semua orang termasuk diri kita sendiri pun rentan diekspos dan dicap 'problematik.'
Apalagi jika sudah sampai mengungkit masa lalu kita baik secara langsung maupun melalui jejak digital di internet dan media sosial.
Contohnya seperti kasus penyanyi Ardhito Pramono, yang sempat dituding rasis dan homofobik akibat twit-nya dari beberapa tahun yang lalu kembali dibawa ke permukaan hingga ia pun merilis video klarifikasi mengenai hal tersebut.
Baca Juga: Gaslighting Bisa Terjadi di Pacaran yang Toxic? Begini Ciri-cirinya!
Woke Culture dan Call-Out Culture
Lain cancel culture, lain pula woke culture dan call-out culture, meski budaya 'pembatalan' ini bisa dibilang sebagai kelanjutan dari kedua budaya lainnya tersebut.
Woke culture muncul dari para aktivis atau orang yang memang aware soal masalah sosial dan menggunakan media sosial sebagai salah satu corong menyampaikan ide dan opini mereka.
Sedangkan call-out culture adalah ketika orang-orang 'woke' atau 'melek' ini mencurahkan kekesalan dan kegusaran mereka lewat media sosial terkait kasus yang enggak memuaskan mereka.
Misalnya nih terhadap komedian dengan candaan seksis hingga brand atau jasa yang dianggap enggak memuaskan.
Kalau kita pernah atau sering misuh-misuh di media sosial akibat internet lemot atau listrik padam melulu, sebetulnya kita sedang menerapkan call-out culture.
Berdasarkan survei dari Sprout Social pada 2017 mengenai 'call-out culture', 46% konsumen di Amerika Serikat menggunakan media sosial untuk protes pada brand atau layanan yang dianggap kurang memuaskan.
Bila setelah di-call out, brand atau layanan tersebut enggak memperbaiki kesalahan atau memberikan kompensasi.
Penulis | : | Salsabila Putri Pertiwi |
Editor | : | Indah Permata Sari |
KOMENTAR