CewekBanget.ID - Istilah 'call-out' dan 'cancel culture' belakangan ini sering kita temui terutama di media sosial dan ditujukan kepada sosok yang menuai kontroversi.
Memangnya cancel culture itu apa, sih?
Secara sederhana, cancel culture merujuk pada gagasan untuk "membatalkan" seseorang dengan arti memboikot atau menghilangkan pengaruh orang tersebut baik di media sosial maupun nyata.
Baca Juga: Curigaan & 4 Tanda Kalau Ternyata Kita Penyebab Toxic Relationship!
Biasanya kita melihat fenomena ini terjadi pada sosok figur publik yang melakukan atau mengatakan sesuatu yang dianggap ofensif atau bermasalah.
Lalu dia direspon oleh publik hingga semakin ramai dan akhirnya ada yang menyerukan agar orang-orang men-cancel ('membatalkan') figur publik tersebut.
Maka dalam artian bahwa karier maupun pengaruh sosok itu mesti dimatikan dengan cara boikot karya hingga meminta pertanggungjawaban tegas dari institusi yang terkait dengan figur tersebut.
Asal Mula Istilah 'Cancel'
Kita pasti sering mendengar istilah 'cancel' sebagai bentuk perlawanan terhadap perbuatan yang dianggap seksis, rasis, atau enggak pantas.
Tapi tahu enggak sih, sebetulnya konsep 'pembatalan' ini konon justru muncul dari candaan misoginis atau merendahkan cewek, lho!
Aja Romano dalam artikelnya untuk Vox menulis, "Mungkin referensi pertama untuk istilah 'meng-cancel' seseorang berasal dari film tahun 1991 berjudul 'New Jack City' di mana Wesley Snipes bermain sebagai seorang gangster bernama Nino Brown.
Di satu adegan, setelah kekasihnya menangis karena semua kekerasan yang disebabkan olehnya, Nino mencampakkan pacarnya dengan berkata, ‘Cancel that b*tch. I’ll buy another one.’"
Istilah dan adegan tersebut juga ditemukan pada salah satu bait lirik 'Single' karya rapper Lil Wayne pada 2010.
Sedangkan pada 2014, istilah 'cancel' pun mulai sering digunakan setelah salah satu episode reality show VH1 berjudul 'Love and Hip-Hop: New York' yang tayang Desember 2014.
Acara tersebut menampilkan adegan salah satu bintangnya Cisco Rosado berteriak pada gadis incarannya, "You’re canceled," setelah mereka bertengkar.
Sejak itu pemakaian istilah 'cancel' menjadi populer dipakai oleh kaum kulit hitam di Twitter, yang awalnya dipakai sebagai becanda namun akhirnya menjadi serius ketika istilah ini diarahkan pada figur publik yang dianggap problematik.
Sasaran 'Cancel Culture'
Umumnya, seseorang bisa terkena 'cancel' karena perbuatan atau perkataan yang berkaitan dengan seksual dan SARA (Suku, Agama, Ras, Antar golongan).
Namun hal ini bisa juga terjadi akibat perseteruan antara figur publik yang kemudian melibatkan penggemar mereka.
Ada banyak sekali sosok publik yang terkena 'cancel culture', tapi baru-baru ini kita bisa melihat contohnya pada Lea Michele 'Glee' yang dituduh rasis oleh mantan lawan mainnya di serial televisi tersebut.
Atau ketika J. K. Rowling yang dituduh transfobik dan bermasalah oleh para penggemar hingga pemeran film 'Harry Potter', dan Suga 'BTS' akibat salah satu lagu dalam solo mixtape-nya diduga mengandung bagian yang kontroversial.
Nah, rupanya saking menjamurnya budaya ini, sekarang enggak cuma sosok terkenal seperti artis atau pembuat karya yang bisa di-'cancel' lho.
Hal ini dikarenakan semua orang termasuk diri kita sendiri pun rentan diekspos dan dicap 'problematik.'
Apalagi jika sudah sampai mengungkit masa lalu kita baik secara langsung maupun melalui jejak digital di internet dan media sosial.
Contohnya seperti kasus penyanyi Ardhito Pramono, yang sempat dituding rasis dan homofobik akibat twit-nya dari beberapa tahun yang lalu kembali dibawa ke permukaan hingga ia pun merilis video klarifikasi mengenai hal tersebut.
Baca Juga: Gaslighting Bisa Terjadi di Pacaran yang Toxic? Begini Ciri-cirinya!
Woke Culture dan Call-Out Culture
Lain cancel culture, lain pula woke culture dan call-out culture, meski budaya 'pembatalan' ini bisa dibilang sebagai kelanjutan dari kedua budaya lainnya tersebut.
Woke culture muncul dari para aktivis atau orang yang memang aware soal masalah sosial dan menggunakan media sosial sebagai salah satu corong menyampaikan ide dan opini mereka.
Sedangkan call-out culture adalah ketika orang-orang 'woke' atau 'melek' ini mencurahkan kekesalan dan kegusaran mereka lewat media sosial terkait kasus yang enggak memuaskan mereka.
Misalnya nih terhadap komedian dengan candaan seksis hingga brand atau jasa yang dianggap enggak memuaskan.
Kalau kita pernah atau sering misuh-misuh di media sosial akibat internet lemot atau listrik padam melulu, sebetulnya kita sedang menerapkan call-out culture.
Berdasarkan survei dari Sprout Social pada 2017 mengenai 'call-out culture', 46% konsumen di Amerika Serikat menggunakan media sosial untuk protes pada brand atau layanan yang dianggap kurang memuaskan.
Bila setelah di-call out, brand atau layanan tersebut enggak memperbaiki kesalahan atau memberikan kompensasi.
Beberapa orang mungkin akan men-cancel dan berhenti memakai brand atau layanan tersebut dan mencari alternatif lain.
Sedangkan kasus 'canceling' orang biasanya dilakukan dengan cara unfollow, mute, block, hingga melaporkan profil dan kontennya agar dihapus dari platform.
Baca Juga: 5 Kartun Tentang Pertemanan Sejati yang Wajib Ditonton Remaja!
Benar atau Salah?
Jadi, ketiga budaya tersebut sesungguhnya benar atau salah untuk dilakukan, nih?
Secara positif, call-out culture dan cancel culture bisa disebut sebagai bentuk demokrasi di media sosial ketika setiap orang punya platform, suara, dan hak untuk mengungkapkan kegusaran mereka atau meminta pertanggungjawaban.
Namun, hal ini juga menjadi pedang bermata dua yang pemakaiannya bisa dengan mudah disetir untuk mendiskreditkan suatu pihak secara massal dan melakukan public shaming atau mempermalukan seseorang di muka umum.
Awalnya cancel culture sendiri hanya sebuah fenomena lazim di media sosial dan enggak banyak membawa konsekuensi bagi pihak yang 'dibatalkan', terutama karena orang yang enggak mengikuti kasusnya atau enggak menggunakan media sosial pun enggak bakal tahu yang terjadi dengan sosok kontroversial itu.
Tapi belakangan ini, cancel culture juga membawa dampak nyata!
Seperti contohnya pembatalan kontrak brand untuk Lea Michele akibat dirinya dituding rasis, atau saat YouTuber Ferdian Paleka di-call out di media sosial akibat tayangan prank-nya terhadap kawan-kawan transgender sehingga media massa turut membesarkan kasus tersebut dan berbuntut pada penahanan dirinya di penjara oleh polisi.
Jadi, selama call-out dan cancel culture dilakukan sebagai alat perubahan positif dengan tujuan dan alasan yang jelas, hal tersebut enggak ada salahnya untuk dilakukan.
Tapi kalau cuma untuk mengungkit masa lalu yang sebetulnya sudah enggak dilakukan lagi atau sudah diklarifikasi, apalagi dengan tujuan kebencian semata, rasanya enggak perlu deh, girls.
Alih-alih calling out, sebetulnya kita bisa mencoba menegur dan memberitahu seseorang atas kesalahannya secara personal dulu, kok.
Kalau memang orang tersebut enggak merespon atau ngotot bahwa dirinya benar, barulah kita bawa permasalahannya ke muka umum dan sewaktu-waktu bisa kita akhiri jika yang bersangkutan telah meminta maaf dan berjanji untuk enggak melakukan hal itu lagi.
Tapi kalau setelah itu orang tersebut malah makin keras kepala, semua kembali pada diri dan nilai moral kita sendiri untuk men-'cancel' orang tersebut.
Ingat untuk selalu bijak dalam bermedia sosial dan bergaul dengan orang lain ya, girls.
(*)
Penulis | : | Salsabila Putri Pertiwi |
Editor | : | Indah Permata Sari |
KOMENTAR