Dingin merayapi tengkuk Ji Won, lalu merembet di sepenjuru tubuhnya. Jejak bibir itu masih hangat. Pelukan itu masih erat mendekap. Satu lagi kuntum sakura melayang jatuh di helai kelam rambut Eun Jung yang panjang. Matanya berbinar penuh ingin tahu. Ji Won mengulurkan tangan dan mengambilnya, lalu meremasnya kuat-kuat.
"Ayo pergi," ujar Ji Won menahan pahit di dadanya. Eun Jung merangkul pemuda itu. Seharusnya hangat. Eun Jung kekasihnya, bukan Sakura. Ah, sudahlah. Seperti bunga sakura yang mekar di musim semi hanya untuk berguguran di musim gugur, serupa itulah perasaannya pada Sakura. Merekah saat dia berkunjung ke Indonesia bulan lalu, dan kini tengah berguguran, entah sampai kapan.
Mungkin selamanya.
***
Desau angin membuat ranting-ranting berhias kelopak sakura mengangguk-angguk. Aku tersenyum lega. Ji Won menatapku dengan sepasang matanya yang tak pernah berhenti kurindukan. Aku menciumnya. Benar kan, bibirnya lembut seperti lelehan madu. Akhirnya, aku berani. Demi Tuhan dan demi waktu yang akhirnya berhenti berdetik, aku bisa mengatakannya. Tidak ada penyesalan. Tidak ada keraguan.
Aku jatuh cinta. Mencintai Ji Won sampai detik terakhir hidupku.
Kini sinar putih di ujung jalan sana tak terlihat lagi menakutkan. Hangat. Wangi. Tubuhku makin lama makin ringan. Aku bisa merasakan diriku melayang-layang. Sekali lagi kulihat Ji Won. Walau gadis manis bernama Eun Jung itu menggelayut manja dan mencelotehkan lelucon, sorot matanya tetap sayu oleh kesedihan yang siap meruntuhkan.
Ah, maafkan aku yang telah mencipta lubang hitam di hatimu, Ji Won. Lubang hitam yang mengisap seluruh bahagia yang kau punya. Sekali lagi, maafkan aku.
***
(oleh: anggun prameswari, foto: weheartit.com, tumblr.com)