"Anne! Udah tau belum?Chamaeleon mau datang ke sekolah kita!" tiba-tiba temanku, Reva, menepuk bahuku pelan.Aku yang baru saja meneguk teh lemon cepat-cepat menelannya.
"Hah? Serius?" tanyaku sejurus kemudian.
Reva mengambil minumanku seraya mengangguk, "Sabtu depan, workshop cuma untuk 200 peserta, tiketnya 50 ribu, di jual pulang sekolah nanti di ruang OSIS." Reva dengan rinci menjawab segala pertanyaan yang ada di kepalaku. Aku terlalu speechless mendengar kabar bahagia ini!
Aku memeluk Reva erat. "Makasih banyak infonya ya, Rev! Doain ya?Semoga aku bisa dapetin tiket itu," pintaku semangat 45.
Reva mengangkat ibu jarinya, "Pasti.Good luck Ne!"
***
Chamaeleon bukanlah nama seorang artis, band terkenal, atau pun nama boybandyang sedang marak belakangan ini. Chamaeleon adalah salah seorang penulis best seller dalam negeri. Karya-karyanya yang Maha itu telah menyihir banyak orang, termasuk aku.Aku telah melahap habis semua buku karangannya dan dibuat jatuh cinta pada bukunya yang berjudul "Reformasi".
Reformasi merupakan sebuah novel yang bercerita tentang Bryan, tokoh utamanya, dengan segala hal yang berhubungan dengan jurnalistik.Ya, tak bisa dipungkiri lagi, novel inilah yang telah membuatku ingin terjun lebih dalam lagi di dunianya para jurnalis.
Aku berkali-kali melihat ke arah jam dinding. Sudah 5 menit berlalu sejak bel pulang sekolah berbunyi. Pak Danang masih saja sibuk menerangkan pelbagai macam kurva di depan sana. Sedangkan aku disini, sedang duduk tidak sabaran melihat teman-temanku dari kelas lain yang sibuk berlarian menuju ruang OSIS di luar sana.
Ingin rasanya aku menyela beliau dan mengingatkannya bahwa sudah 5 menit yang lalu pelajaran usai. Namun hal itu tidak mungkin aku lakukan .Aku adalah anak baik-baik dan tahu betul tata karma.Jadi tidak ada yang bisa kulakukan sekarang selain mengemasi buku serta alat tulisku (agar aku bisa langsung berlari keluar) dan tentu saja, menunggu.
Dengan sekuat tenaga aku berlari menuruni tangga menuju ruang OSIS. Kalian tahu apa yang baru saja kulihat? Antriannya sudah sampai di depan anak tangga terakhir, eh ralat, bahkan sudah sampai di depan ruang koperasi. Sedangkan ruang OSIS sendiri berada di gedung seberang, itu berarti..........
Tidaaaaaak! Lututku rasanya lemas seketika.Pupus sudah harapanku bisa bertemu dengan Chamaeleon.Namun mendengar suara orang-orang yang berlarian di lantai atas membuatku refleks ikut berlari menempati antrian paling belakang. Ya, masih ada kesempatan!
Sebenarnya bisa saja aku menghampiri Sandra yang sedang mengantri jauh di depan sana untuk meminta bantuannya. Akuakan berpura-pura baru datang dari toilet, mengatakan kepada yang lain bahwa aku telah mengantri di belakang Sandra sejak awal, lalu Sandra akan mengiyakannya dan voila! Aku bisa berdiri di antrian depan!
Hahaha, tenang saja.Aku tidak mungkin melakukan hal sejahat itu.Aku tahu bagaimana rasanya menjadi orang-orang yang dengan sabar mengantri, namun tiba-tiba seseorang 'menyelak' secara halus seperti itu. Aku tidak ingin melakukan hal itu karena aku juga tidak ingin diperlakukan seperti itu oleh orang lain. Maka dengan sabar aku mengantri, melangkah sejengkal demi sejengkal dengan penuh harapan bisa mendapatkan barang satu buah tiket saja.
***
Satu jam berlalu sudah. Semburat-semburat merah mulai tampak di langit yang menjingga.
Aku masih duduk termenung di koridor dekat ruang OSIS, entah menunggu apa. Tiket sudah terjual habis 15 menit yang lalu, ketika antrian di depanku tinggal 5 orang.Miris?Memang.
Reva yang ternyata masih menungguku dengan setia sejak tadi, sekarang sibuk membujukku untuk pulang.
"Ne, pulang yuk? Hampir jam 6 loh. Nanti kalo gak ada angkot lagi, kita mau pulang naik apa?" bujuk Reva pantang menyerah."Jangan sedih gitu dong, Ne. Kamu harus sabar! Percaya deh, Tuhan pasti punya rencana lain yang lebih baik untuk kamu."
Aku menarik nafas panjang lalu mengembuskannya perlahan.Setelah mencerna kata-kata Reva barusan, aku pun mengangguk.
***
Aku duduk menunggu di depan gedung auditorium sejak workshop ini di mulai 20 menit yang lalu. Kugenggam tabletku erat, berharap dapat bertemu dengan Chamaeleon ketika ia keluar nanti atau bahkan bisa mewawancarainya secara langsung.
15 menit..... 30 menit..... hingga1 jam pun berlalu.
Percaya atau tidak, aku hampir saja tertidur jika lagu American Idiot dari Green Day tidak mengalun keras dari earphoneyang terpasang di telingaku.
Aku memutuskan beranjak dari dudukku menuju ruang musik, menemui Reva untuk mengajaknya makan siang di kantin bersama.
Seseorang tiba-tiba menepuk pundakku dari belakang. Aku pun menoleh dan sedikit, eng bukan, tapi sangat, sangat terkejut! Kau tahu kenapa?Awan! Ketua redaksi majalah bulanan sekolah kami sekaligus ehm orang yang sangat kukagumilah yang menepuk pundakku barusan!
"Eh, kenapa Wan?" tanyaku sedikit gugup sambil melepas earphone.
Awan mendecak pelan."Pantesan dipanggilin gak noleh-noleh, gak taunya lagi pake earphone."
"Hehehe, sorry, sorry. Emang ada perlu apa?"
"Kamu gak ikut workshop?"Awan malah bertanya balik.
Aku menggeleng.Wajahku berubah murung."Enggak, kemarin kehabisan tiket."
Awan mengusap rambutnya ke belakang."Oh, sayang banget ya.Trus sekarang mau kemana?Pulang?"
"Enggak, mau ke ruang musik, ngajak Reva makan siang.Cacing-cacing di perut udah pada keroncongan nih di dalam," candaku menepuk-nepuk perut.
Awan tertawa pelan."Oh, kalo gitu abis makan kamu gak ada acara kan?"
Aku menggeleng lagi.
Awan merogoh sesuatu dari saku kemejanya."Ini, OSIS minta majalah kita untuk mewawancaraiChamaeleon secaraeksklusif pas break makan siang nanti." Awan memberikanId card bertali merah itu padaku."Tadinya aku udah minta tolong Andre, tapi tiba-tiba dia ada acara dadakan. Dan berhubung aku liat kamu luntang-lantung gak jelas dengan wajah cemberut kayak gini, mending aku minta kamu aja buat gantiin dia. Gimana? Bisa kan?"
Aku melongo parah, masih mencerna kata-kata Awan barusan.Apa dia bilang? Aku akan mewawancarai Chamaeleon secara eksklusif?
"Ne, gimana? Kalo kamu gak bisa aku cari orang lain aja."
"Eh, jangan, jangan!Aku bisa kok!" semprotku setelah sadar. "Ta...tapi ini serius kan? Ini bukan tanggal 1 April kan?"
Awan tertawa, lagi."Iyalah serius. Yaudah cepetan makan sana! Jangan sampe itu isi perut abis semua dimakan cacing."Awan memukul puncak kepalaku dengan gulungan kertas yang dibawanya.
"Ih sakit tau!"
"Payah!"Awan kembali merogoh saku kemejanya, mengeluarkan secarik kertas."Oh iya, ini daftar pertanyaan yang gak boleh kamu tanyain.Soalnya itu udah dibahas semua di dalam.Ada beberapa hal sensitif juga sih. Yaudah ya, masih banyak urusan nih di basecamp.So, goodluck!"Awan tersenyum dengan senyumannya yang aku jamin dapat membuat siapa saja meleleh itu lalu berlalu meninggalkanku.
"Awan!" panggilku setengah berteriak."Makasih banyak ya!"Awan hanya mengacungkan ibu jarinya kepadaku dan tentunya kembali menyunggingkan senyum mautnya itu.
Aku langsung berlari menuju ruang musik, pergi ke kantin bersama Reva dengan terburu-buru dan tak lupa menceritakan kejadian yang baru saja terjadi secara detail (Reva juga pernah mengagumi Awan sepertiku, dulu.Namun, dia tetap berteriak histeris saat mendengar ceritaku ini, hihihi), lalu berpamitan dengannya karena Reva masih ada kelas musik di luar, dan disinilah aku sekarang.Di sebuah ruangan kecil di backstage gedung auditorium.Dengan sabar aku menunggu kedatangan Chamaeleon yang masih menyantap makan siangnya. Aku menatapId card yang menggantung di leherku, memutar kembali momen bersama Awan tadi, yang membuatku semakin mengaguminya.
10 menit kemudian Chamaeleon memasuki ruangan bersama seorang asistennya.Dengan ramah beliau menyapaku dan selalu bersemangat menjawab setiap pertanyaan yang kulontarkan.Sayang sekali, setengah jam berlalu begitu cepat.Namun yang terpenting adalah beliau dengan senang hati mau menandatangani novel Reformasi-ku yang sengaja kubawa, dan malahan aku sempat berfoto bersamanya dengan bantuan asistennya yang juga baik hati itu.
Benar apa kata Reva. Tuhan pasti sudah memiliki rencana yang terbaik untuk setiap hamba-Nya.Segala sesuatu yang menurut manusia baik untuk dirinya, belum tentu itu yang terbaik menurut Tuhan, karena Tuhan-lah Yang Mahatahu. Ya, manusia memang boleh berencana, namun pada akhirnya Tuhan-lah yang akan memutuskan. Benar begitu bukan?
(Oleh: Ridha Syifa Salsabila, foto: teen.com)
Penulis | : | Astri Soeparyono |
Editor | : | Astri Soeparyono |
KOMENTAR