"Bantuin gue dong, Karin, please...." tatapan Tia memelas dan penuh harapan, bikin gue jadi inget karakter Puss In The Boots di film Shrek.
"Bukannya gue enggak mau bantu lo, Ti. Tapi...." gue menghela napas. Duh, permintaannya gak bisa lebih susah lagi?
"Atau menurut lo, mendingan kita jalan bertiga aja? Ketemuan gitu biar lebih jelas? Iya, iya, gitu kali ya?" Tia tiba-tiba semangat sendiri.
Oh great, kayaknya dia bisa baca pikiran gue, deh. Enggak cukup hanya jadi mak comblang, sekarang dia mau gue jadi laler di antara dia dan Ryan.
"Tapi kalau bertiga trus gue enggak berani ngajak ngobrol, Ryan pasti lebih asik ngobrol sama lo, deh. Eh tapi juga, kalau cuma berduaan doang, gue pasti grogi beraaattt. Haduh, gimana ya? Menurut lo gimana, Rin?" kembali, Tia melihat gue dengan tatapan memelas dan penuh harapan. Seakan-akan dia seorang Cinderella yang lagi bingung gimana caranya bisa ke pesta dan gue seorang ibu peri.
"Ti, gini ya, gue kan udah pernah cerita ke lo berkali-kali. Ryan itu susah banget buat dicomblangin. Gue sering, Ti, nih ya read my lips, SERING. Sering banget mencoba ngejodohin Ryan, dari sepupu gue sendiri sampe ke temennya mantan gue. Tapi enggak pernah bisa sukses, jangankan diajak jalan bareng, sms aja enggak pernah dia ladenin."
"Iya sihhh, gue tauuu. Tapi lo inget, kan, waktu Ryan tiba-tiba nanyain gue udah makan apa belum trus nawarin mau sekalian beli makanan? Ryan, loh! Kalo ini cowok lain mungkin gue enggak peduli, tapi ini Ryan! Dia kan enggak pernah nunjukin perhatian begitu ama cewek! Ya kan, ya kan? Jadi mungkin gue beda, Rin." Tia lagi-lagi melihat gue dengan puppy eyes yang bikin gue gerah.
"Ti, Ryan itu udah kayak abang gue. Dari masih orok gue udah kenal ama dia, jadi gue tau kalo dia marah itu kayak apa. Nah, tiap kali gue berusaha jodohin dia ama seseorang, pasti dia marah dan gue jadi berantem sama dia. Gue males, Ti, berantem sama dia terus mesti diem-dieman. Lo tau, kan, kalo gue butuh dia untuk bantu ngerjain tugas Matematika."
Alasan lain gue enggak suka berantem sama Ryan adalah karena kalau mama sampai tahu kita berantem, uang jajan bakal dikurangin. Iya, hal yang sama juga akan terjadi sama Ryan karena mama bakal cerita ke maminya.
Berbeda dengan teman-teman yang berharap punya kakak laki-laki, gue justru suka menyesali kenapa orangtua gue dan orangtua Ryan mesti sahabatan sampai punya rumah sebelah-sebelahan seperti ini. Gue yang mestinya anak sulung dari dua bersaudara, malah tumbuh besar dengan perasaan kayak anak tengah. Untung si Ryan anak tunggal, kalau enggak, saudara gue bakal makin banyak.
"Jadi lo enggak mau bantuin gue, nih, Rin?" Tia memasang tampang seakan mau menangis.
"Waduh Ti, jangan mewek ya, awas lo kalo sampe mewek." Gue menarik napas dalam. Ya udahlah ini yang terakhir kalinya gue jadi mak comblang buat cewek-cewek yang suka sama Ryan.
Tia mesti bersyukur karena belakangan ini jadi deket sama gue sejak sekelompok buat tugas kimia. Walaupun sekarang gue jadi curiga, mungkin dia deketin gue karena mau minta bantuan untuk jadian sama Ryan.
"Ya udah, deh, Ti. Gue bantu sesuai mau lo. Tapi traktirin makan siang di kantin ya selama seminggu."
"HOREEEE! Makasih, ya, Karin cantik. Kalo sampe gue bisa jadian ama Ryan, sih, lo mau apa aja gue turutin. He-he-he," senyum sumringah segera menggantikan tampang hampir menangis tadi.
Melihat Tia yang sekarang cengengesan, gue cuma bisa berharap semoga Ryan bener-bener punya perasaan sama dia. Lumayan banget, nih, makan siang gratis selama seminggu.
Ryan selama ini memang belum pernah pacaran dengan siapa pun. Padahal banyak yang suka sama dia. Setiap kali gue tanya kenapa, selalu ada aja alasannya. Mau konsen belajarlah, mau menunggu sampai ketemu yang cantiknya kayak Jennifer Lopez-lah. Hih, amit-amit, udah berasa kayak seganteng Hugh Jackman aja.
***
Ryan sedang menyetem gitar sambil lesehan di ruang tamu rumahnya saat gue dateng.
"Lagi ngapain, lo?"
"Lo sekarang jadi rabun? Enggak bisa liat sendiri?"
Gue cengengesan lalu duduk di depannya.
"Papi mami mana?"
"Lagi ke kondangan. Eh, tumben amat, sih, lo basa basi segala? Biasa juga langsung teriak-teriak manggil mami."
"Dih, emang enggak boleh kalo sekali-sekali gue nanya ke lo dulu?"
Ryan enggak mempedulikan gue dan kembali asyik dengan gitarnya. Gue jadi bingung mesti mulai nanya dari mana, tapi rasanya pengin banget cepat-cepat menyelesaikan tugas ini. Biar hidup gue bisa lebih tenang, enggak perlu dengar rengekan Tia tiap hari.
"Yan, lo tau Tia, enggak?"
Ryan mengangkat pandangannya ke gue.
"Yang rambutnya suka diiket satu dan poninya kayak Dora?"
"Iya! Sekarang gue lagi deket ama dia, nih. He-he-he."
Ryan kembali asyik dengan gitarnya, sama sekali enggak memberi respon yang berarti.
"Hmm.... Tia ini anaknya baik banget, deh. Waktu tugas kimia kan gue sekelompok ama dia. Dia ngebantuin untuk ngerjain tugas bagian gue, loh. He-he-he."
"Itu mah dia bodoh aja mau bantuin lo."
Gue hampir mau membalas nyolot kalau enggak inget tugas gue dari si Tia dan makan siang gratis.
"Anywaaayyy, selain baik, Tia ini juga pinter masak, cantik dan pinter. Eh iya, suaranya Tia bagus, loh. Kalau lo main gitar sambil ngiringin dia nyanyi, pasti...."
Gue terdiam karena Ryan menaruh gitarnya ke lantai dan menatap gue tajam.
"Trus? Dia pasti cocok banget jadi cewek gue dan gue pasti enggak akan nyesel kalo pacaran sama dia?"
"Err.... Nggak! Gue enggak berencana ngomong gitu, kok."
Ryan menaikkan salah satu alisnya dan memberi tatapan skeptis.
"...OKE. Tia minta tolong gue. Dia nanya lo suka apa enggak sama dia."
Ryan menghela napasnya dan kembali main gitar. Kentara banget dia males meladeni gue.
"Yan? Jadi gimana? Lo suka dia, enggak?"
Yang ditanya tetap memainkan gitar seakan-akan enggak mendengar pertanyaan gue.
"Jawab dong. Suka atau enggak?"
"Atau."
"Ih basi banget, sih, jawab begitu. Mmm....gue kasih pilihan, deh. Pertama, lo suka. Ke-dua, lo enggak suka. Ke-tiga, lo lumayan tertarik tapi belum yakin mau jadiin dia pacar lo. Ke-empat, lo enggak suka tapi enggak mau memberi jawaban pasti karena lo mau mempertahankan fans. Yang mana, hayo?"
"Segitu doang pilihannya?"
"Ih, itu juga udah lumayan banyak, masa masih kurang? Atau...kelima, lo demennya sama cowo?"
Ryan memukul kepala gue pelan dengan buku chord lagu. Kemudian lagi-lagi dia menghela napas. Sambil menaruh gitarnya di pangkuan, Ryan menatap gue. Selama beberapa saat, kita cuma saling memandang dalam diam. Wah wah, kayaknya yang kelima, nih. Gue mesti bereaksi gimana ya nanti?
"Gue pilih...hmm...pilihan yang ke-enam."
"HA? Enggak ada kali!"
"Pilihan yang ke-enam. Gue enggak mungkin suka sama dia karena gue sukanya sama lo."
Gue bengong. Ih, orang ini ditanya serius malah bercan.... Gue makin bengong melihat Ryan yang ngelengos dengan muka memerah karena malu.
Oh, sial! Enggak jadi makan siang gratis selama seminggu, deh.
(Oleh: Godeliva Olivia D, foto: tumblr.com)
Penulis | : | Astri Soeparyono |
Editor | : | Astri Soeparyono |
KOMENTAR