"Eh maaf, ya. Kenal juga enggak!" ujarku berbohong, pamorku bisa turun kalau semua tahu Bagas tetanggaku. Apalagi kalau sampai tahu dia sering mengerjakan tugas Fisikaku. Aduh, gengsi dong.
"Hayoh! Ngelamun terus!" tiba-tiba Dian membuyarkan lamunanku, ternyata bel tanda pulang telah berbunyi.
"Apaan, sih!" jawabku sedikit ketus. "Kayaknya kita harus buat perjanjian, deh. Pokoknya siapapun dari kita berenam enggak ada yang minum dawet ayu sebelum tahun baru," kataku lagi mantap.
"Bener, Ti! Itu sebagai peringatan kesialan kita gara-gara Bagas si juragan dawet ayu," dukung Windi, dan semua tersenyum tanda setuju. Aku baru ingat kalau orangtua Bagas pembuat dawet.
"Laper banget, nih. Ke alun-alun, yuk, cari makan," usulan Kiki yang melenceng dari obrolan langsung disetujui kami berlima, kalau masalah perut pasti kompak deh.
***
Saat kami sampai di Alun-alun, hujan turun. Ini bulan November, jadi bisa dipastikan akan ada hujan setiap harinya. Dan sekarang, aku bersama kelima sahabatku sedang berteduh di bawah pohon Beringin Kembar. Aku memperhatikan sekelilingku, hanya ada kami berenam. Tunggu dulu, tepat di depanku ada seorang wanita separuh baya yang duduk sila di atas tikar usang. Di sampingnya, berdiri papan kecil bertuliskan "Peramal Sakti". Aku jadi sedikit merinding saat membacanya.
"Ih, ada peramal, tuh. Gimana kalau kita nyobain ngeramal masa depan kita?" lagi-lagi Kiki yang pertama mengusulkannya.
"Ogah! Buat apa sih? Mending kita..." belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, kelima sahabatku sudah bergegas ke tempat peramal itu. Aduh, apa mereka lupa adab mengobrol yang sopan? Sukanya asal ngeloyor gitu.
"Mau Madam ramal tentang apa? Madam hanya akan meramal satu hal saja, nanti Madam kasih solusinya," kata peramal itu. Hei, dia menyebut dirinya Madam? Enggak salah, tuh? Norak banget, sih.
"Masa depanku dengan Ihsa!" celetuk Kiki.
"Hei, tentang kota Banjarnegara aja!" usulan dari Riska tentunya.
Penulis | : | Astri Soeparyono |
Editor | : | Astri Soeparyono |
KOMENTAR