Udara malam ini terasa hangat. Sesekali terasa semilir angin malam yang bebas keluar masuk dari jendela kamar yang terbuka. Rachel sengaja membukanya lebar-lebar, berharap hawa sejuk yang dibawa oleh hembusan angin bisa meredakan kekesalannya pada Nana. Wanita gemuk yang menjadi pengasuhnya sejak bayi tanpa diduga menolak mentah-mentah ajakan Rachel untuk pergi ke Pasar Malam.
"Apa? Pasar Malam di malam Bulan Biru seperti ini?" Nana berjengit dengan suara nyaring begitu mendengar ajakan Rachel. Tangannya yang gemuk dan kokoh berhenti membolak-balik biskuit coklat yang tengah dipanggangnya.
"Memangnya ada apa dengan Bulan Biru?" Rachel meraih sekeping biskuit yang sudah jadi dan meniup-niupnya untuk menghilangkan panas.
"Malam ini semua sihir bekerja. Sihir jahat, sihir baik...semua!" tandas Nana serius.
"Nana, para penyihir telah habis diburu sejak lama. Kau mengada-ada," Rachel tergelak-gelak nyaris tersedak. Buru-buru diraihnya segelas lemon dingin dari meja dapur.
"Nana tidak pernah mengada-ada, Nona. Dan sihir para gipsi tidak pernah benar-benar lenyap. Jadi malam ini, baik-baiklah di rumah. Besok, saat hari terang kita akan mampir sebentar ke lapangan pinggir kota untuk memuaskan rasa ingin tahumu."
Rachel mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Sudah 13 tahun ia dalam asuhan Nana. Ia tahu persis, jika Nana mengatakan sesuatu dengan mimik seserius saat ini, maka itu adalah perintah. Seisi rumah besar ini harus patuh. Bahkan ayahnya sekalipun. Entah karisma apa yang dimiliki perempuan tua gemuk yang penyayang itu, namun nyatanya Rachel memilih alasan ingin tidur lebih awal untuk mengunci diri di kamar ketimbang harus berdebat panjang dengan Nana.
"Ke Pasar Malam pada siang hari terang benderang?! Huaaah, yang benar saja. Di mana letak keseruannya?! Rachel menggerutu sendiri. Ia membolak-balik tubuhnya dengan gelisah. Berulangkali dicobanya memejamkan mata namun tak berhasil. Matanya justru nyalang menatap langit-langit kamar.
Tiba-tiba dengan gerakan cepat Rachel bangkit dari tempat tidur. Samar-samar telinganya menangkap alunan musik yang riang. Khas musik yang dinyanyikan kaum gipsi di antara karavan-karavan mereka. Rachel memejamkan mata, memusatkan konsentrasi pada pendengarannya. Nada-nada itu masih terdengar meski samar-samar. Perlahan ia kembali membuka mata dan menatap jendela yang terbuka. Tirai berenda putih itu melambai menandai gerakan angin yang menembus masuk ke kamar. Rachel merasakan hawa dingin pada tengkuk dan lengannya. Ia memutuskan untuk merapatkan daun-daun jendela itu ketika sekelebat ide melintas di pikirannya. Bergegas gadis itu menuju ke lemari besar di sudut kamar, tempat gaun-gaunnya tersimpan.
--
Rachel terengah-engah melangkah di setapak menanjak pada bukit kecil itu. Ia beruntung sebab purnama yang bulat sempurna membuat bukit menjadi remang keemasan. Cukup terang untuk dilewati tanpa bantuan lentera. Bagaimanapun juga memintas jarak melalui bukit ini jauh lebih aman ketimbang melewati jalan di tengah kota. Yang meskipun lebih nyaman namun akan membuatnya berpapasan dengan orang-orang yang memiliki tujuan yang sama dengannya. Pasar Malam.
Sedikit binar jahil menyala di mata Rachel. Sungguh ini adalah hal paling gila yang pernah ia lakukan. Melompat dari jendela atau sesekali melarikan diri dari kamarnya adalah kenakalan kecil yang biasa ia lakukan. Namun tetap saja dilakukan di siang hari, bukan di malam hari seperti saat ini. Rachel terus melangkah melintasi padang bunga daffodil. Mengikuti setapak kecil di bukit yang berujung pada lapangan besar di pinggiran kota.