"Iya. Bantuin kita ya, Put. Kasian kalau HP kita kena sita. Nanti kita diomelin sama ortu, kalau aku malah sampai bisa dikurung dalam kamar. Sebagai teman, kamu mau, kan, bantu kita?"
Akhirnya dengan segala bujukan, tas sekolahku menjadi rental tempat HP. Aku sebenarnya panik. Bagaimana jika tasku juga digeledah? Tapi ternyata dugaan anak-anak benar. Tidak ada anak kelasku yang HP-nya disita ketika dua guru yang datang menggeledah semua tas siswa, kecuali tasku. Sebagai gantinya, para guru tersebut hanya bertanya padaku, yang menurutku lebih berat.
"Kamu enggak bawa HP 'kan, Putri?" Dengan susah payah aku menggeleng, sambil terus memegangi tasku. "Bagus. Kamu memang siswa teladan di sekolah ini." Dengan gampangnya dua guru tersebut percaya dan meninggalkan kelasku.
Secara teknis, aku memang enggak bawa HP sendiri, tapi orang lain. White lie. Again. Dan kebohongan yang sama terulang setiap kali ada razia HP. Aku yang melakukannya. Aku berbohong demi kebaikan teman-temanku.
***
Secara alamiah, sudah menjadi kebiasaan bagiku berbohong dengan alasan demi kebaikan. Mengatakan pada guru piket bahwa Kevin sakit saat dia tertidur pulas di bangku taman karena kelelahan. Menggeleng saat ditanya apakah memberi jawaban pada anak sekelas saat nilai mid-semester mereka kompak di atas 90-sebenarnya aku hanya memberi jawaban pada Indra yang memohon karena sama sekali tak belajar akibat latihan basket, mungkin dia yang membagikannya kepada yang lain, berpura-pura sakit saat pelajaran olahraga untuk mengerjakan PR anak-anak yang belum dikerjakan, dan diam saat kulihat Indra dengan jelas membuka buku Biologi di bawah kolong mejanya saat Ujian Nasional berlangsung. Aku yakin semua kebohongan yang kulakukan adalah white lie-kebohongan yang baik-dan itu semua demi kebaikanku dan teman-temanku. Agar mereka jadi pintar. Agar mereka tak dimarahi orangtua. Agar mereka tidak mendapat hukuman.
Namun, yang namanya bohong tetap saja dosa. Dan dosa harus mendapat ganjarannya. Ketika itu terjadi, aku baru menyadari bahwa yang kulakukan selama ini salah, tepat setelah aku melakukan kesalahan yang sangat fatal.
"Kamu lagi pusing, ya?" aku menghampiri Donny yang duduk di pojok.
"Iya, nih. Banyak masalah. Nilai, orangtua, teman, guru. Pusing aku."
"Cobain ini, deh. Dijamin pusing kamu hilang."
Donny menatap bungkusan berisi bubuk putih di tanganku. Dia terkejut.
"Sejak kapan kamu dagang beginian? Ini, kan, terlarang."
Penulis | : | Astri Soeparyono |
Editor | : | Astri Soeparyono |
KOMENTAR