Dengan sisa-sisa tenaga, pisau tajam itu langsung menghujam pusat dari tempat parasit tersebut. Jantungku. Sisa hati yang belum membusuk serta pikiran yang waras seakan bernapas lega, mendukung keputusanku, membuat mereka tetap bersih sebelum ternoda. Dan dengan napas yang tinggal beberapa tarikan terakhir, bersamaan dengan cairan merah membasahi tubuhku, aku mendengar mereka berujar.
Apa pun itu alasannya, bohong tetaplah tak baik. Orang yang berbohong sekali, akan terus berbohong untuk menutupi kebohongan pertama. Apabila tidak ingin kebohongan tersebut terlanjut, berani dan jujurlah. Namun tetap saja, kamu akan menerima ganjaran dari setiap kebohongan yang kamu buat.
***
Andini menutup diary bersampul kusam tersebut. Entah sudah yang kesekian kalinya ia membaca isinya, dan tak pernah bosan. Namun kali ini, tidak ada air mata yang keluar, hanya senyum tipis dan getir ketika ia meletakkan sebuket bunga dan diary tersebut ke atas gundukan tanah yang sudah mengeras.
"Aku kesini untuk mengembalikan diary ini. Terima kasih atas pelajaran hidupnya. Mungkin aku sudah merelakan kepergian Kakak, tapi aku belum bisa memaafkan Kakak. Maaf, enggak ada yang bisa aku lakukan. Tapi aku akan selalu mendoakan Kakak."
Dan sekali lagi Andini mengusap nisan batu tersebut lalu berdiri dan melenglang pergi. Meninggalkan nisan yang bertuliskan PUTRI ANINDYA beserta diary serta buket bunga di sampingnya.
***
(Oleh: Siti Rahayu Nurzakiah, foto: weheartit.com)