Tita berharap kehangatan Eros pagi itu akan bertahan. Setidaknya sampai selesai semua pelajaran hari itu. Ternyata seperti hari-hari sebelumnya. Setelah mengucap terima kasih atas bantuan Tita, Eros tak lagi menyapanya. Bahkan tampak tak peduli padanya.
Mungkin karena berharap terlalu besar, Tita tak kuasa menahan kesedihan dan kekecewaannya. Usai pelajaran terakhir siang itu, ia menghambur ke toilet. Tita berusaha mengurai perasaannya. Kata Cecil seperti inilah rasa cinta, ada rasa senang sekaligus sedih, rasa manis yang bercampur asam. Tita tersenyum sendiri. Itu perumpamaan Cecil. Seperti permen saja.
Tiba-tiba terdengar ketukan pintu di belakangnya. Tita terkejut. Kok masih ada juga yang ke toilet selesai kelas begini selain dirinya, batin Tita. Begitu pintu dibuka, senyum Cecil langsung tampak di depannya.
"Sedang apa?" tanya Cecil sambil memperhatikan wajah kusut Tita.
"Kamu sendiri mau apa?" balas Tita.
Cecil tertawa kecil. Menoleh sekeliling, memastikan tak ada yang mendengar pembicaraan mereka, "Melihatmu bersedih."
'Hhh...." Seketika Tita mencubit pipi gembil Cecil. Gemas bercampur senang. Biar Eros tak peduli, toh tetap masih ada yang memperhatikannya. Cecil. Si usil itu selalu setia di sampingnya.
"Sudah, yuk, keluar. Lembab dan jorok begini," kata Cecil sambil menunjuk dinding toilet yang penuh coretan dan menarik tangan Tita.
**
"Pokoknya begitu, deh. Kamu harus tegas, tegas, tegas!" kata Cecil bersemangat seperti biasa. Minggu siang ini Tita berkunjung ke rumahnya. Dan Cecil sudah bisa menebak untuk apa kunjungan Tita saat meneleponnya pagi tadi. Untuk curhat soal Eros! Dan tebakan Cecil terbukti benar.
"Itu yang susah, Cil," Tita menjawab, hampir seperti sebuah rengekan.
"Huh, cengeng!" komentar Cecil. "Apa susahnya? Kamu tinggal bilang 'tidak mau' atau 'tidak bisa'. Beres!"
Penulis | : | Astri Soeparyono |
Editor | : | Astri Soeparyono |
KOMENTAR