"Emang Rian sakit apa, Bu?"
"Rian terkena kanker."
"Kanker?" Naisha terkejut luar biasa.
"Ya, Rian terkena kanker. Ia terkena kanker otak. Makanya dia suka pusing kalo kelamaan kena sinar matahari. Tapi tak apa, kankernya masih belum parah dan masih bisa diobati."
Naisha tak percaya dengan apa yang didengarnya. Rian sakit? Seperti kulminasi yang tidak mungkin terjadi di malam hari, apa yang baru dikatakan ibu Rian pasti tidak benar-benar terjadi. Rian memang agak beda. Daya tahan tubuhnya memang lebih lemah dari orang kebanyakan, tapi itu tak bisa dijadikan patokan. Kanker ganas tak mungkin diidapnya. Mungkin itu cuma karena faktor cuaca.
Ia berharap ibu Rian segera meralat ucapannya. Tapi itu cuma sekedar angan saja. Naisha tak tahu harus bersikap bagaimana. Ini terlalu sulit untuk diterka.
Mata Rian perlahan terbuka. Setelah hampir 40 menit ia pingsan, akhirnya ia terbangun juga. Naisha dan ibunya tersenyum lega. Rian segera bangkit duduk dan memandang Naisha.
"Jadi jawabanmu gimana, Nai? Aku diterima, enggak?" tanya Rian yang masih dalam kondisi lemas.
Naisha terdiam. Garis ekuator mungkin bisa membelah bumi menjadi dua, tapi hatinya tidak bisa. Garis ekuator dan Rian adalah suatu hal yang berbeda, tapi iba dan rasa cinta bisa berarti sama. Naisha mematung bagai tugu katulistiwa. Tetes air mata di pipi tak mampu membuka esensi jawaban di hatinya.
* * *
Oleh Rosmen Rosmansyah