Sheira terlalu sibuk dengan berbagai pikirannya sendiri hingga tidak menyadari bahwa ia telah tiba di depan sebuah kios sederhana. Rumah Lingkan.
"Bu, ibu sudah pu-" Lingkan yang baru muncul dari dalam kios mendadak Nampak tegang begitu melihat kedatangan Sheira.
"Ling, tadi ibu ketemu dengan teman kamu di jalan. Katanya dia mau nengokin kamu, tuh. Ibu masuk dulu, ya. Kamu temani tuh teman kamu," kata ibu Lingkan sebelum masuk ke dalam kios yang juga merupakan rumah Lingkan.
"H-hai, Ling," ujar Sheira terbata-bata.
"Kamu mau apa ke mari?" Tanya Lingkan dengan ekspresi dingin. Benar-benar dingin.
"Aku mau minta maaf sama kamu, Ling. Trus me, aku benar-benar menyesal sudah merusak sepatu kamu. Aku waktu itu memang kesal bangeet gara-gara diledekin melulu soal sepatu kamu yang kembaran sama aku," ucap Sheira dengan kepala menunduk.
"Hhhh..." Lingkan menghela nafas panjang. "Aku juga minta maaf, Ra. Aku akui, selama ini aku memang sengaja meniru kamu. Gaya berpakaian kamu, cara jalan kamu, semuanya," kata Lingkan sambil duduk di kursi panjang yang sengaja diletakkan di depan kiosnya.
"Tapi kenapa, Ling?"
"Aku malu mengakuinya, tapi gaya kamu, cara kamu jalan, cara kamu bicara, semuanya keren, Ra. Dan aku ngefans sama kamu," kali ini Lingkan yang berbicara dengan wajah teertunduk malu.
"Kamu ngefans sama aku?" ulang Sheira enggak percaya.
"Iya, tapi terkadang aku juga kesal karena kamu suka menyindir aku di hadapan anak-anak yang lain, makanya aku bertekad untuk mengalahkan kamu dalam bidang akademik. Tapi aku kalah juga, ha ha ha..." Lingkan tertawa getir.
Sheira masih terdiam karena enggak percaya dengan apa yang barusan didengarnya. Bagaimana mungkin ia memperlakukan seseorang yang begitu memerhatikan dan mengaguminya dengan perlakuan yang enggak baik?
"Ra, ibu dan bapak aku sudah lama beercerai," cerita Lingkan lagi. "Bapak meninggalkan aku dan ibu dalam keadaan miskin. Untungnya ibu aku adalah seorang wanita yang tidak mudah putus asa. Ia berusaha membiayai seluruh keperluan aku sendirian. Makanya terjadang aku juga suka merasa bersalah pada ibu saat aku minta dibelikan barang-barang mahal seperti punya kamu," tambah Lingkan.
"Serius kamu, Ling?"
"Iya, makanya aku membeli sepatu Converse seperti punya kamu itu dengan uang tabungan yang susah-susah aku kumpulin. Tapi kamu dan teman-teman malah merusak sepatu aku," Sheira bisa merasakan sedikit nada menyalahkan dalam ucapan Lingkan barusan.
"Sori Ling," ucap Sheira sambil memandangi sepatu Converse miliknya. "Ling, sepatu ini buat kamu saja deh," kata Sheira tiba-tiba sambil melepas sepatunya.
"Aku enggak bisa terima sepatu dari kamu, Ra. Lagipula aku enggak minta supaya kamu mengasihani aku kok," tolak Lingkan.
"Anggap saja ini permintaan maaf aku karena sudah merusak sepatu kamu, Ling. Lagipula aku masih bisa membeli sepatu yang lain. Dan lagi.. aku merasa senasib dengan kamu," kata Sheira.
"Senasib? Dalam hal apa?"
"Papa dan mama aku juga sudah lama bercerai. Mama sebenarnya istri kedua papa. Saat papa dan istri pertamanya bertengkar hebat, papa menjalin hubungan dengan mama aku. Kemudian, lahirlah aku. Tapi kemudian papa balik dengan istri pertamanya," Sheira tersenyum sambil memandang wajah Lingan." Untungnya papa aku orangtua yang bertanggung jawab. Walau sudah bercerai, papa tetap ngasih uang bulanan ke mama dan aku. Dan untungnya lagi istri pertamanya enggak melarang papa."
"Kamu benar-benar beruntung, Ra," komentar Lingkan.
"Ya, dan kamu tahu? Sampai beberapa menit yang lalu aku masih merasa kalau aku adalah anak termalang sedunia karena hanya dibesarkan dengan satu orangtua. Tapi setelah mendengar cerita kamu barusan, aku jadi belajar untuk lebih bersyukur."
Sheira dan Lingkan sama-sama terdiam sambil memandangi matahari yang mulai terbenam dari bangku panjang di depan kios Lingkan. Senja hari itu menjadi saksi akhir perang dingin antara Sheira dan Lingkan.
***
Penulis | : | Astri Soeparyono |
Editor | : | Astri Soeparyono |
KOMENTAR