Karita menyusuri jalan tempat dia mungkin menjatuhkan selembar uang lima ribunya. Dengan wajah panik dia menghampiri abang penjual bakwan Malang yang memberinya uang itu.
"Bang, lihat uang lima ribuan yang tadi Abang kasih ke saya, enggak?" tanya Karita.
"Waduh, enggak lihat, Non! Memang kenapa? Hilang, Non?" Tanya abang tadi ikut bingung melihat kepanikan Karita.
"Iya, Bang. Uangnya hilang," rengek Karita.
"Cuma lima ribu, iklasin saja, Non! Masih banyak uang nganggur, kan, di dompet?" ujar Abang itu. Memang aneh kelihatannya. Seorang seperti Karita, yang berjalan-jakan dengan baju merek mango ,kebingungan hanya karna kehilangan uang lima ribu.
"Bukan karena jumlahnya ,Bang. Saya enggak masalah kalau uang saya yang hilang itu lima ribuan yang lain .Tapi lima ribuan yang hilang itu berharga banget buat saya, Bang!" jelas Karita.
"Kok bisa, Non. Itu kan Cuma kembalian dari saya. Di mana spesialnya?"
"Di uang itu ada nomor penting. Dan saya harus segera menghubungi nomor itu. Saya cuman punya waktu sampai besok, Bang!" seru Karita mencoba menjelaskan betapa pentingnya uang itu.
"Maaf, mbak!" ujar Bapak penjual siomai di sebelah mereka, tiba-tiba ikut dalam pembicaraan. "Yang mbak maksud itu uang lima ribuan yang ada tulisan nomor 0856...."
"Iya, Pak! Benar! Itu uang yang saya cari. Bapak tahu ada di mana?" cecar Karita penuh semangat. Harapannya seketika terbit bagai mentari pagi.
"Tadinya uang itu ada di saya. Tapi tadi sudah saya berikan ke tetangga saya. Kalau mbak mau, saya bisa antarkan Mbak ke Gendis."
"Maaf, Mbak. Ada apa, ya?" Tanya Gendis dengan polos saat melihat dua gadis berkulit putih mendatangi rumahnya. Karita yang sedari tadi masih tertegun melihat rumah reot Gendis justru terbengong-bengong. Lintang segera menyenggol pinggulnya agar dia tersadar.
"Begini, saya kehilangan uang. Selembar uang lima ribuan. Memang jumlahnya kecil sekali. Tapi uang itu penting sekali buat saya. Saya dengar dari bapak yang jual siomai di depan sekolah saya, katanya uang saya ada di kamu. Boleh saya... minta uang saya?" Tanya Karita ragu-ragu. Takut pertanyaannya menyakiti hati gadis itu.
"Maaf. Sebenarnya saya mau saja mengembalikan uang itu. Lagipula uang itu memang milik Mbak, kan? Tapi...uang itu... sudah saya pakai," jawab Gendis terbata-bata. Karita terbelalak mendengarnya.
"Sekali lagi saya minta maaf. Tapi mungkin buat Mbak uang lima ribu kecil, tapi buat saya uang itu berarti sekali," ujar Gendis sungguh-sungguh. "Ibu saya sakit. Saya dan adik berniat membawa Ibu ke dokter. Kami lalu mengumpulkan uang tiap hari. Mulai dari jualan es, semir sepatu, bantu-bantu di warung Bi Inah. Sakit Ibu makin parah, kalau tidak segera dibawa ke dokter bisa parah. Tapi uang kami kurang lima ribu. Jadi kami tidak bisa bawa Ibu ke Dokter. Sampai uang lima ribu Mbak akhirnya sampai di tangan saya. Akhirnya saya bisa bawa Ibu ke Dokter. Sungguh, Mbak. Uang Mbak sudah menyelamatkan Ibu kami," ujar Gendis berusaha menjelaskan apa yang terjadi. Karita hanya bisa terdiam mendengar kisah Gendis. Sementara dia hanya memikirkan nomor handpone, gadis ini justru memikirkan kesehatan Ibunya. Bahkan di tangan Gendis uang lima ribu itu bisa menyelamatkan manusia.
"Tapi kalau Mbak mau, saya bisa ganti. Saya akan cari uang untuk..."
"Eits, enggak! Enggak perlu," cegah Karita. Dikeluarkannya selembar uang dari kantongnya. Kali ini kita bisa melihat angka satu dengan lima nol mengirinya di belakangnya.
"Ini buat kamu," ujar Karita. Gendis memandangi uang itu dengan takut-takut. Mimpi apa dia semalam? Hingga selembar seratus ribu kini tepat di depan matanya.
"Kenapa malah saya yang dikasih uang?" Tanya Gendis bingung.
"Daripada nganggur di dompet saya. Lebih baik uang itu di tangan kamu. Pakai uang itu untuk membeli makanan enak yang bergizi. Agar Ibumu cepat sembuh dan adikmu sehat," ujar Karita santai. Gendis baru akan membuka mulut ketika Karita berkata," Ini perintah, bukan permintaan."
"Alhamdulilah, makasih banyak, Mbak! Semoga kebaikan Mbak dibalas Allah berjuta kali lipat dibandingkan uang ini," ucap Gendis sambil tersenyum tulus.
*****
"Terus Andra gimana?" Tanya Lintang saat berjalan di samping Karita.
"Kalau aku dan Andra jodoh. Mau ke Jepang ataupun ke Atlantik, kita pasti bersatu lagi," jawab Karita santai. Kini dia menyadari, betapa pentingnya arti lima ribu bagi orang lain. Maka dia harus belajar, belajar untuk mensyukuri hal yang didapatnya.
*****
Oleh: Ajeng Arini P.
Penulis | : | Astri Soeparyono |
Editor | : | Astri Soeparyono |
KOMENTAR