Pak, bakwannya seribu!" ujar Karita pada abang penjual bakwan Malang yang langsung sigap meracik pesanan Karita dalam sebungkus plastic kecil. Dengan santai, Karita mengeluarkan selembar uang sepuluh ribuan dari kantongnya.
"Ini, Non," ujar penjual bakwan Malang itu sopan. Diserahkannya sepuluh ribu di tangan kanannya sambil tersenyum. Abang itu justru terlihat bingung saat mendapatkan selembar uang sepuluh ribu itu.
"Kok, sepuluh ribu, Non?" tanyanya pada Karita. "Uang pas saja, Non. Enggak ada kembaliannya."
"Waduh, enggak ada itu, Bang!" jawab Karita sambil memeriksa kantong dan dompetnya. Hanya selembar uang lima puluh ribu dan dua lembar uang seratus ribu yang ada di dalamnya.
"Ya sudah, Non! Biar saya cari kembalian dulu, ya!" balas Abang itu sambil berjalan menjauh untuk menghampiri kawan-kawan seperjuangannya, yakni abang penjual pempek dan siomai.
Tiba-tiba Karita merasa handpone di saku kanannya bergetar. Diambilnya segera barang kesayangannya itu. Di sana tertulis dengan jelas nama seorang teman baik Karita, Vira. Melihat panggilan itu, Karita segera menekan tombol hijau dan meletakan handphone di dekat telinganya.
"Kenapa, Vir?" tanyanya langsung tanpa basa-basi.
"Kar, berita penting. Aku dapat nomornya Andra!" seru suara di seberang sana. Karita yang mendengarnya langsung cerah seketika. Matanya berbinar-binar bahagia.
"Serius, Vir?" tanyanya lagi memastika.
"Serius! Cpetan catat sekarang, ya! Terus buruan SMS dia. Jangan sampai dia keburu berangkat ke Jepang. Pokoknya kamu harus cepat nyatain perasaan kamu ke dia sebelum semuanya terlambat!" jelas Vira dengan semangat bambu runcing.
"Iya, iya! Bentar, aku catat. Duh, pennya ada, kok kertasnya enggak ada, sih?" gerutu Karita sambil mengobrak-abrik isi tasnya.
"Cepetan, dong, Kar!"
"Iya, ini lagi nyari kertas!" jawab karita panik. Sesaat terlintas di pikirannya untuk menulisnya di tangan. Hingga datang pahlawannya...
"Non, ini kembaliannya!" ujar Abang tukang bakwan malang. Karita langsung menyambar uang di tangan Abang itu. Dia meletakkan selembar uang lima ribuan di gerobak Abang itu.
"Berapa, Vira?" Tanya Karita
*****
"Hei, Kar!" seru Lintang, sahabat Karisa sambil duduk di sebelah Karita. "Gimana? Sudah SMS atau telepon Andra? Kamu Cuma punya waktu dua hari, lho!"
"Belum, ini baru mau SMS," jawab Karita sambil merogoh sakunya mencari uang lima ribu yang berharga itu. Namun...
"Lho, kok tinggal seribuan?" Tanya Karita panik. "Duh, kayaknya uangku jatuh, deh! Gimana, dong?"
"Memang berapa sih yang jatuh?" Tanya Lintang ikut panik.
"Lima ribu," jawab Karita singkat. Mendengar itu Lintang langsung melengos.
"Ya Allah, cuman lima ribu. Ikhlasin saja kali, Kar!" ujar Lintang santai.
"Enggak bisa gitu, Lin! Uang itu berharga banget buat aku. Uang itu penting banget buat aku," cecar Karita tak terima pada ucapan Lintang.
"Kok bisa berharga banget?"
"Masalahnya, di situ aku nulis nomornya Andra! Seru Karita. Dengan panic Karita meraih handpone-nya. Dipilihnya nama Vira dari daftar kontak.
"Halo? Vira?"
"Iya, kenapa, Kar? Kok, kedengarannya panik gitu?" Tanya Vira
"Vir, nomor Andra hilang, nih! Aku minta nomor dia lagi, dong!" rengek Karita dengan suara manjanya.
'Waduh, Kar! Tadi nomor Andra Cuma aku tulis di kertas. Begitu aku selesai telepon kamu, kamu tahu, kan, kebiasaan aku?"
"Jangan bilang kalau..."
'Iya, kertasnya aku sobek jadi kecil-kecil gitu. Terus aku buang, deh, ke tempat sampah," ujar Vira takut-takut.
"Hah?!" seru Karita kaget.
Seorang ibu berjalan dengan santai sambil membawa tas belanjanya. Tiba-tiba dia berhenti melihat selembar uang lima ribuan yang tergletak di tanah. Pelan-pelan Ibu itu memungutnya.
"Uang siapa ini? Ceroboh sekali," guman Ibu itu. Dia menoleh ke kanan dan kiri. Tak dia temukan seorang pun di sana.
"Kalau aku ambil, ini bukan hakku. Kalau dibiarkan di sini, sayang banget." Bersamaan dengan kebingungan itu, dia melihat seorang bapak penjual siomai yang mendorong gerobaknnya. Tubuhnya hitam dan kotor. Tulang-tulang terlihat menonjol di tubuhnya. Garis wajahnya terlihat begitu jelas.
"Pak!" panggil Ibu itu. Penjual siomai itu langsung berhenti dan menoleh.
"Ada apa, Bu?" tanyanya dengan sopan dan ramah. Ibu itu menyerahkan selembar uang lima ribu yang dia temukan tadi. "Maaf, Bu! Dagangan saya sudah habis."
"Bukan begitu, Pak! Ini buat Bapak saja. Saya tadi menemukan ini di jalan. Saya pikir daripada bikin masalah lebih baik disedekahkan saja, "jelas Ibu itu.
"Terima kasih banyak, Bu!" jawab penjual siomai itu dengan sangat senang.
"Mungkin itu rezeki Allah, Pak. Walau Cuma lima ribu."
*****
"Terima kasih, ya, Gendis! Kamu sudah banyak bantu, Bapak," ujar Bapak penjual siomai pada seorang gadis manis di depannya. Gadis bernama Gendis itu tersenyum manis semanis namanya.
"Tidak apa-apa, Pak. Gendis senang, kok, bisa bantu Bapak. Ya, Cuma ini yang bisa saya lakukan. Bantu bersihin piring, bikin bumbu kacang," ujar Gendis cerita.
"Bagaimana keadaan Ibu kamu, Nak?" Tanya. Wajah Gendis yang ceria berubah seketika menjadi muram. Ada hawa kesedihan di tatapan matanya.
"Belum. Gendis sama adik sudah mengumpulkan uang buat berobat Ibu. Tapi masih kurang," jawab Gendis. "Tapi Gendis enggak putus asa. Besok Gendis mau cari uang lebih banyak lagi."
Bapak penjual siomai itu merogoh sakunya. Ditatapnya selembar uang lima ribuan di tangan kanannya. Mungkin uang itu akan lebih baik bila berada di tangan Gendis. Setidaknya uang yang tak jelas pemiliknya ini masih bisa berguna bagi nyawa seseorang.
"Gendis, Bapak tadi dapat rezeki lebih. Enggak banyak, Cuma lima ribu. Tapi Bapak harap jumlah yang sedikit ini bisa berguna buat pengobatan ibu kamu. Maklum, Bapak sendiri juga enggak punya uang. Cuma ini yang bisa Bapak beri." Ujar Bapak penjual siomai itu iklas.
"Alhamdulilah, ini benar buat saya, Pak?" Tanya Gendis meyakinkan diri. Bapak itu mengangguk pelan. "Alhamdulilah, Ya Allah! Buat saya, selembar uang lima ribu ini sudah berkah yang begitu besar. Terima kasih banyak, Pak!" ujar Gendis penuh syukur. Dipandanginya selembar uang lima ribuan itu bagai melihat puluhan juta di genggamannya. Dalam hatinya berkata penuh syukur,"Ibu... akhirnya Gendis bisa bawa Ibu berobat."
Karita menyusuri jalan tempat dia mungkin menjatuhkan selembar uang lima ribunya. Dengan wajah panik dia menghampiri abang penjual bakwan Malang yang memberinya uang itu.
"Bang, lihat uang lima ribuan yang tadi Abang kasih ke saya, enggak?" tanya Karita.
"Waduh, enggak lihat, Non! Memang kenapa? Hilang, Non?" Tanya abang tadi ikut bingung melihat kepanikan Karita.
"Iya, Bang. Uangnya hilang," rengek Karita.
"Cuma lima ribu, iklasin saja, Non! Masih banyak uang nganggur, kan, di dompet?" ujar Abang itu. Memang aneh kelihatannya. Seorang seperti Karita, yang berjalan-jakan dengan baju merek mango ,kebingungan hanya karna kehilangan uang lima ribu.
"Bukan karena jumlahnya ,Bang. Saya enggak masalah kalau uang saya yang hilang itu lima ribuan yang lain .Tapi lima ribuan yang hilang itu berharga banget buat saya, Bang!" jelas Karita.
"Kok bisa, Non. Itu kan Cuma kembalian dari saya. Di mana spesialnya?"
"Di uang itu ada nomor penting. Dan saya harus segera menghubungi nomor itu. Saya cuman punya waktu sampai besok, Bang!" seru Karita mencoba menjelaskan betapa pentingnya uang itu.
"Maaf, mbak!" ujar Bapak penjual siomai di sebelah mereka, tiba-tiba ikut dalam pembicaraan. "Yang mbak maksud itu uang lima ribuan yang ada tulisan nomor 0856...."
"Iya, Pak! Benar! Itu uang yang saya cari. Bapak tahu ada di mana?" cecar Karita penuh semangat. Harapannya seketika terbit bagai mentari pagi.
"Tadinya uang itu ada di saya. Tapi tadi sudah saya berikan ke tetangga saya. Kalau mbak mau, saya bisa antarkan Mbak ke Gendis."
"Maaf, Mbak. Ada apa, ya?" Tanya Gendis dengan polos saat melihat dua gadis berkulit putih mendatangi rumahnya. Karita yang sedari tadi masih tertegun melihat rumah reot Gendis justru terbengong-bengong. Lintang segera menyenggol pinggulnya agar dia tersadar.
"Begini, saya kehilangan uang. Selembar uang lima ribuan. Memang jumlahnya kecil sekali. Tapi uang itu penting sekali buat saya. Saya dengar dari bapak yang jual siomai di depan sekolah saya, katanya uang saya ada di kamu. Boleh saya... minta uang saya?" Tanya Karita ragu-ragu. Takut pertanyaannya menyakiti hati gadis itu.
"Maaf. Sebenarnya saya mau saja mengembalikan uang itu. Lagipula uang itu memang milik Mbak, kan? Tapi...uang itu... sudah saya pakai," jawab Gendis terbata-bata. Karita terbelalak mendengarnya.
"Sekali lagi saya minta maaf. Tapi mungkin buat Mbak uang lima ribu kecil, tapi buat saya uang itu berarti sekali," ujar Gendis sungguh-sungguh. "Ibu saya sakit. Saya dan adik berniat membawa Ibu ke dokter. Kami lalu mengumpulkan uang tiap hari. Mulai dari jualan es, semir sepatu, bantu-bantu di warung Bi Inah. Sakit Ibu makin parah, kalau tidak segera dibawa ke dokter bisa parah. Tapi uang kami kurang lima ribu. Jadi kami tidak bisa bawa Ibu ke Dokter. Sampai uang lima ribu Mbak akhirnya sampai di tangan saya. Akhirnya saya bisa bawa Ibu ke Dokter. Sungguh, Mbak. Uang Mbak sudah menyelamatkan Ibu kami," ujar Gendis berusaha menjelaskan apa yang terjadi. Karita hanya bisa terdiam mendengar kisah Gendis. Sementara dia hanya memikirkan nomor handpone, gadis ini justru memikirkan kesehatan Ibunya. Bahkan di tangan Gendis uang lima ribu itu bisa menyelamatkan manusia.
"Tapi kalau Mbak mau, saya bisa ganti. Saya akan cari uang untuk..."
"Eits, enggak! Enggak perlu," cegah Karita. Dikeluarkannya selembar uang dari kantongnya. Kali ini kita bisa melihat angka satu dengan lima nol mengirinya di belakangnya.
"Ini buat kamu," ujar Karita. Gendis memandangi uang itu dengan takut-takut. Mimpi apa dia semalam? Hingga selembar seratus ribu kini tepat di depan matanya.
"Kenapa malah saya yang dikasih uang?" Tanya Gendis bingung.
"Daripada nganggur di dompet saya. Lebih baik uang itu di tangan kamu. Pakai uang itu untuk membeli makanan enak yang bergizi. Agar Ibumu cepat sembuh dan adikmu sehat," ujar Karita santai. Gendis baru akan membuka mulut ketika Karita berkata," Ini perintah, bukan permintaan."
"Alhamdulilah, makasih banyak, Mbak! Semoga kebaikan Mbak dibalas Allah berjuta kali lipat dibandingkan uang ini," ucap Gendis sambil tersenyum tulus.
*****
"Terus Andra gimana?" Tanya Lintang saat berjalan di samping Karita.
"Kalau aku dan Andra jodoh. Mau ke Jepang ataupun ke Atlantik, kita pasti bersatu lagi," jawab Karita santai. Kini dia menyadari, betapa pentingnya arti lima ribu bagi orang lain. Maka dia harus belajar, belajar untuk mensyukuri hal yang didapatnya.
*****
Oleh: Ajeng Arini P.
Penulis | : | Astri Soeparyono |
Editor | : | Astri Soeparyono |
KOMENTAR