Kau tidak menyapaku pagi ini.
Kau tidak membangunkanku dari mimpi.
Dan mimpi it uterus berlanjut bahkan ketika kelopak mataku trbuka di akhir keremangan fajar ini.
Lihatlah keluar. Menembus kaca tebal berbingkai mahoni yang tegar menahan deraian titik-titik hujan yang berusaha menerjang masuk, berusaha menyerangku, berusaha menyakitiku dengan rasa dingin yang tak terbayangkan.
"Bagus sekali, hujanlah yang mengawali hari pertamaku di sekolah baru, " umpatku dalam hati.
Dan selama hampir 16 tahun hidup di bumi, aku tahu bahwa ini sama sekali bukan pertanda baik. Terlebih kau belum menmukanku di kota ini. Apa kau marah karena aku meninggalkanmu saat kau tengah terlelap?
Lebih baik tidak kuawali saja hari ini, pikirku sambil merebahkan diriku ke kasur keras itu lagi. Tak lama kemudiaan, kudengarkan pintu kamarku degedor keras.
"Hei tukang mimpi, cepat bangun. Kau ingin terlambat di hari pertama sekolah?" teerdengar suara cempreng Elvira, adik perempuanku. Berisik sekali.
Aku bangun dengan bersungut-sungut. Vira terlonjak kaget pintu kamar kubuka dengan kasar tepat di hadapan mukanya.
"Eh, kata Ayah.... Kamu ditunggu di ruang makan!" katanya sambil buru-buru menyingkir.
"Tak usah menungguku jika mau sarapan!" teriakku ke arah ruang makan. Entah mereka mendengarnya atau tidak, suaraku kalah oleh ributnya suara hujan yang mendra atap rumah. Berisik sekali.
Itulah salah satu alas an mengapa aku membencimu. Aku menyukai ketenangan dan aku tidak menyukai suara hujan yang berisik ini.
'Aaahh...!" jeritku menggema di koridor.
Aku bisa merasakan tanganku yang memegang kenop pintu kamar mandi bergetar hebat. Seluruh urat sarafku merinding melihat cacing yang menggeliat di lantai kamar mandi.
Penulis | : | Astri Soeparyono |
Editor | : | Astri Soeparyono |
KOMENTAR