Ketika masih SMA, yaitu belasan tahun lalu, ada hal-hal berhubungan dengan seks yang saya percayai. Salah satunya adalah bahwa lompat-lompat setelah berhubungan seks akan mencegah kehamilan. Saya juga sempat percaya kalau nanas bikin keputihan.
Maafkan kepolosan saya, tapi pada masa itu pengetahuan soal seks sungguh sulit didapat. Pada masa itu saya harus bertanya ke dokter atau baca di media. Ngobrol sama orangtua soal seks dipastikan awkward-nya setengah mati.
Fast forward ke belasan tahun kemudian, dengan kemajuan internet yang bisa kasih info semudah mengedipkan mata, remaja masih kurang mendapatkan info yang benar soal seks.
Dari data WHO tercatat lebih dari 32 ribu perempuan Indonesia yang meninggal akibat aborsi yang tidak aman dalam rentang waktu 2010-2014 sehingga menjadikan Indonesia sebagai salah satu yang tertinggi di Asia Tenggara.
(Baca juga: memulihkan trauma korban penculikan, apa yang harus dilakukan?)
Satu kata bernama seks ini memang sungguh bombastis. Banyak orang yang langsung mengaitkannya dengan hal yang jorok dan vulgar sehingga tabu buat diomongin.
Kita terbiasa tumbuh dengan budaya bahwa seks adalah sesuatu yang privat, memalukan dan harus disembunyikan. Kita juga terlalu terpaku dengan seks sebagai sebuah kata kerja. Sesuatu yang berdosa besar bila dilakukan oleh kita yang belum menikah.
Pendidikan agama tentu penting untuk membentengi agar remaja enggak kebablasan. Tapi agama saja tetap tidak cukup.
Satu hal yang perlu disadari dan diterima, manusia adalah makhluk seksual. Hasrat seksual adalah dorongan biologis yang sudah ada dalam diri kita (enggak semua orang punya, sih, ada yang termasuk aseksual yaitu orang yang tidak punya hasrat seksual, tapi itu cerita lain).
Jadi pada dasarnya saat remaja, ketika tubuh berubah, wajar banget ada dorongan seksual yang menggebu-gebu. Kuncinya adalah tahu cara mengelolanya agar enggak kebablasan. Bukannya malah enggan ngebahas karena sudah keburu takut dosa.
Di sinilah peran pentingnya pendidikan seksual. Seperti yang diomongin Patricia Donovan dalam penelitiannya yang berjudul School-Based Sexuality Education: The Issues and Challenges.
Penulis | : | Trinzi Mulamawitri |
Editor | : | Trinzi Mulamawitri |
KOMENTAR