Hal ini dapat berakibat pada tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB).
Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012 menyebutkan bahwa AKI di Indonesia adalah 359 per 100.000 kelahiran hidup, sedangkan angka kematian bayi (AKB) adalah 32 per 1.000 kelahiran hidup.
Bayi yang dilahirkan oleh perempuan di usia anak juga mempunyai potensi mengalami masalah kesehatan.
Baca juga: 8 Kisah Tragis Cewek Modern yang Harus Menderita Karena Dilahirkan Sebagai Perempuan
Ketidaksiapan psikologis
Di sisi lain, ketidaksiapan psikologis anak perempuan dalam membangun rumah tangga menempatkannya pada posisi rentan mengalami kekerasan dalam rumah tangga.
“Berumah tangga butuh keterampilan. Tanpa keterampilan tersebut, bagaimana anak bisa beradaptasi dengan hidup berumah tangga?” ujar Antarini Arna, Direktur Program Keadilan Gender Oxfam di Indonesia
“Akibat yang ditimbulkan dari perkawinan anak adalah mematikan cita-cita anak karena anak pada usia belia harus mengurus kehidupan keluarga,” kata Listyowati, Ketua Kalyanamitra.
Remaja jadi korban sehingga harus peduli
Mengingat remaja merupakan kelompok yang paling terdampak oleh praktik perkawinan anak, remaja harus juga dilibatkan dalam penyelesaian masalahnya.
Maka selain melakukan sosialisasi dan pemberian informasi terhadap remaja, mengajak serta mereka untuk berkampanye dan berkomitmen bersama menjadi penting dilakukan.
Harapannya dapat terbangun dukungan dan komitmen dari kelompok muda berperan serta mencegah dan menghapuskan praktik perkawinan. Perkawinan anak bukan hanya permasalahan remaja, tetapi juga merupakan masalah orangtua, masyarakat, dan negara.
“Orangtua memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa pengasuhan dilakukan untuk kepentingan terbaik sang anak,” kata Antarini Arna.
Maka orang tua juga harus ikut bertanggung jawab dalam usaha-usaha penghapusan praktik perkawinan anak.
Harus segera dihapuskan
Dalam waktu beberapa tahun Indonesia diproyeksikan akan mengalami bonus demografi di mana jumlah populasi usia produktif akan melebihi populasi non-produktif. Hal ini dapat dimanfaatkan oleh negara untuk memperbaiki keadaan sosio-ekonomi bangsa. Hal ini hanya mungkin apabila penduduk di usia produktif dibiarkan mencapai potensi terbaik mereka, yang enggak akan terjadi apabila praktik perkawinan anak masih terjadi. Lebih jauh lagi, penghapusan praktik perkawinan merupakan implementasi dari lima Tujuan Pembangunan Berkelanjutan: penghapusan kemiskinan, kesehatan, pendidikan, mengurangi ketimpangan, dan keadilan gender.
Baca juga: 7 Faktor Mengejutkan Penyebab Sulitnya Hidup Sebagai Cewek di Korea Selatan
Penulis | : | Aisha Ria Ginanti |
Editor | : | Aisha Ria Ginanti |
KOMENTAR