Dalam rangka memperingati kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Oxfam di Indonesia dan Kalyanamitra memfokuskan kampanyenya pada Penghapusan Praktik Perkawinan Anak.
Selama ini kalau kita berbicara soal kekerasan terhadap perempuan, tindakan kekerasan seksual seperti pelecehan di tempat umum atau pemerkosaan sering kali jadi topik utama.
Padahal selain itu, perkawinan anak, juga bisa jadi kekerasa terhadap perempuan karena banyak dari kasus tersebut di mana si anak yang dikawaninkan masih di bawah umur dan melakukan secara terpaksa.
Namun sayangnya di Indonesia hal ini kurang mendapat perhatian dan masih terus berlanjut. Untuk itu sebagai cewek, kita perlu banget tahu 5 fakta penting tentang gerakan mealwan perkawinan anak dalam rangka hari anti kekerasan terhadap perempuan biar kita bisa ikut bergerak menghentikannya.
Baca juga: 7 Kisah Tragis Cewek yang Dibunuh Atas Nama ‘Honor Killing’ di Tahun 2016
Angka perkawinan anak di Indonesia masih tinggi
Data menunjukkan bahwa praktik perkawinan anak masih tinggi di Indonesia. Save the Children mencatat setiap tujuh detik terjadi perkawinan yang melibatkan perempuan yang berusia 15 tahun (Save the Children, 2016).
Meskipun praktik perkawinan anak sudah dipersoalkan sejak Kongres Perempuan Indonesia tahun 1928, namun sampai saat ini perkawinan anak masih menjadi masalah besar di Indonesia.
Saat ini Indonesia menempati peringkat dua di ASEAN untuk angka tertinggi perkawinan anak. Lebih lanjut, data UNICEF mencatat bahwa 17% perempuan Indonesia menikah sebelum usianya genap 18 tahun.
Dampak buruk hamil pada usia remaja
Perkawinan anak merupakan masalah kompleks yang dilandasi oleh banyak faktor; diantaranya faktor ekonomi, budaya dan religius yang berakibat pada putusnya pendidikan, hilangnya kesempatan untuk bermain, kehamilan usia muda dan kematian ibu melahirkan.
Ada banyak akibat negatif dari perkawinan anak, salah satunya apabila seorang anak hamil pada usia emas (sampai dengan 19 tahun), anak enggak akan mendapatkan asupan gizi yang cukup untuk tumbuh kembang karena harus berbagi dengan bayi di dalam kandungan.
Hal ini dapat berakibat pada tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB).
Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012 menyebutkan bahwa AKI di Indonesia adalah 359 per 100.000 kelahiran hidup, sedangkan angka kematian bayi (AKB) adalah 32 per 1.000 kelahiran hidup.
Bayi yang dilahirkan oleh perempuan di usia anak juga mempunyai potensi mengalami masalah kesehatan.
Baca juga: 8 Kisah Tragis Cewek Modern yang Harus Menderita Karena Dilahirkan Sebagai Perempuan
Ketidaksiapan psikologis
Di sisi lain, ketidaksiapan psikologis anak perempuan dalam membangun rumah tangga menempatkannya pada posisi rentan mengalami kekerasan dalam rumah tangga.
“Berumah tangga butuh keterampilan. Tanpa keterampilan tersebut, bagaimana anak bisa beradaptasi dengan hidup berumah tangga?” ujar Antarini Arna, Direktur Program Keadilan Gender Oxfam di Indonesia
“Akibat yang ditimbulkan dari perkawinan anak adalah mematikan cita-cita anak karena anak pada usia belia harus mengurus kehidupan keluarga,” kata Listyowati, Ketua Kalyanamitra.
Remaja jadi korban sehingga harus peduli
Mengingat remaja merupakan kelompok yang paling terdampak oleh praktik perkawinan anak, remaja harus juga dilibatkan dalam penyelesaian masalahnya.
Maka selain melakukan sosialisasi dan pemberian informasi terhadap remaja, mengajak serta mereka untuk berkampanye dan berkomitmen bersama menjadi penting dilakukan.
Harapannya dapat terbangun dukungan dan komitmen dari kelompok muda berperan serta mencegah dan menghapuskan praktik perkawinan. Perkawinan anak bukan hanya permasalahan remaja, tetapi juga merupakan masalah orangtua, masyarakat, dan negara.
“Orangtua memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa pengasuhan dilakukan untuk kepentingan terbaik sang anak,” kata Antarini Arna.
Maka orang tua juga harus ikut bertanggung jawab dalam usaha-usaha penghapusan praktik perkawinan anak.
Harus segera dihapuskan
Dalam waktu beberapa tahun Indonesia diproyeksikan akan mengalami bonus demografi di mana jumlah populasi usia produktif akan melebihi populasi non-produktif. Hal ini dapat dimanfaatkan oleh negara untuk memperbaiki keadaan sosio-ekonomi bangsa. Hal ini hanya mungkin apabila penduduk di usia produktif dibiarkan mencapai potensi terbaik mereka, yang enggak akan terjadi apabila praktik perkawinan anak masih terjadi. Lebih jauh lagi, penghapusan praktik perkawinan merupakan implementasi dari lima Tujuan Pembangunan Berkelanjutan: penghapusan kemiskinan, kesehatan, pendidikan, mengurangi ketimpangan, dan keadilan gender.
Baca juga: 7 Faktor Mengejutkan Penyebab Sulitnya Hidup Sebagai Cewek di Korea Selatan
Penulis | : | Aisha Ria Ginanti |
Editor | : | Aisha Ria Ginanti |
KOMENTAR