Sistem Pendidikan Indonesia
Dikutip dari website Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Dr.soc.pol Agus Heruanto Hadna, seorang pengamat kebijakan publik UGM, memandang kalau banyaknya kasus kekerasan guru kepada murid ini terkait dengan sistem pendidikan yang berlaku di Indonesia.
Menurut beliau, sistem pendidikan Indonesia seringnya mengabaikan pendidikan prilaku dan karakter serta lebih menekankan pada aspek kognitif. Sehingga, aspek prilaku dalam pendidikan jadi lemah, enggak hanya pada guru tapi juga pada murid. “Jadi enggak ada keseimbangan antara pendidikan kognitif dan prilaku,” jelas Agus.
Apa yang Bisa Kita Lakukan
Beberapa kasus kekerasan ini mungkin memang berasal dari murid. Seperti kasus di Purwokerto. Guru tersebut mengaku karena muridnya sudah kelewatan dan melanggar aturan meski tidak disebutkan aturan seperti apa yang dilanggar. Atau seperti kasus di Riau tersebut. Kejadian ini bermula karena murid yang membolos.
Soal guru di kota saya, dia terpaksa memukul siswa karena siswa tersebut melanggar peraturan sekolah berkali-kali. Mungkin, kita bisa mengurangi kejadian ini dengan cara memerhatikan sikap kita.
Seringkali, melanggar peraturan jadi alasan. Peraturan dibuat tentunya demi kebaikan kita, dan memang, sih, godaan untuk melanggar aturan itu gede banget, apalagi kalau teman-teman banyak yang melakukannya. Namun, tentu saja hasilnya enggak baik, sehingga enggak ada salahnya kalau kita mulai lebih memperhatikan peraturan.
Ketika peraturan yang ada dirasa sudah enggak relevan lagi atau malah mengekang kita sehingga enggak bisa mengembangkan kreativitas atau menghambat kita untuk maju, hal ini tentu bisa dibicarakan baik-baik.
Ada OSIS yang menjadi wadah bagi para siswa untuk menyampaikan opini untuk kemudian disampai kepada sekola. Ada MPK, alias Majelis Perwakilan Kelas yang bisa menjembatani antara keinginan siswa dengan sekolah.
Agus juga mengungkapkan kalau hal ini bisa diatasi dengan menjaga pola komunikasi agar terjalin dengan baik. Termasuk antara sekolah dengan orangtua.
“Meski sudah banyak dibentuk komite sekolah, tapi belum banyak yang memanfaatkan wadah ini sebagai saran menjalin komunikasi orang tua dan murid dengan pihak sekolah dengan baik. Kalau komunikasinya efektif maka enggak akan terjadi hal-hal seperti ini,” ungkap beliau.
“Menurutku, murid dan guru itu bisa bersahabat tapi kita tetap menghormati mereka. Caranya ya dengan enggak sengaja nyari masalah. Kalau memang kita salah, aku harap guru juga bisa bersikap bijaksana, enggak langsung marah-marah apalagi berbuat kekerasan. Kalau di sekolahku ada sistem poin, setiap kali kita melanggar aturan, maka hukumannya jelas, bisa dapat poin dan guru enggak bisa bertindak kasar atau menghukum dengan cara lain. Namu, balik lagi ke kitanya juga. Aku, sih, bilang ke diri aku sendiri kalau aku sekolah ya buat belajar, bukan nyari masalah, jadi sebisa mungkin aku enggak melanggar peraturan.” (Nadia, 17 tahun, Jakarta)
Penulis | : | Ifnur Hikmah |
Editor | : | Ifnur Hikmah |
KOMENTAR