Setiap orang pastinya pernah merasa kehilangan orang tersayang, begitu juga dengan Youtuber dan selebgram, Jovi Adhiguna. Ini curhatan Jovi Adhiguna saat ditinggal oleh kakak dan ayahnya untuk selamanya.
(Cewek ini pernah mengalami pelecehan seksual di medsos, klik di sini untuk tahu cara mengatasinya)
Kehilangan Kakak
“Aku sama kakak cewekku tuh beda umurnya 10 tahun, tapi kita dekat banget. Dia memang pemakai narkoba yang parah, keluarga sudah melakukan yang terbaik untuk dia seperti treatment dan lainnya. Tapi tetap enggak bisa, setiap habis dari rumah sakit, dia selalu kabur dengan uang seadanya.
Kakakku di-detox di Bandung dan racun-racunnya berhasil dihilangkan dari tubuh. Ketika pulang ke rumah, dia pergi ke warung untuk beli soda dengan uang 50 ribu. Di situ ternyata di kabur hanya dengan uang 50 ribu. Dia menghilang selama setahun tanpa ada kabar sama sekali.
Lalu suatu hari ada yang menelepon ke rumah untuk mengabarkan kalau kakakku meninggal di perjalanan ke rumah sakit. Itu adalah kehilangan pertama yang aku rasakan. Di situ aku benar-benar terpukul, aku seperti gila. Aku sering tiba-tiba terbangun ketika tidur, lalu menangis.
(Alasan kita enggak boleh bunuh diri, klik di sini)
Kehilangan Papa
Saat 2012, papaku tinggal di Bandung. Saat itu tuh aku lagi bandel-bandelnya, karena papaku protektif banget, aku malah jadi sengaja sering enggak pulang ke rumah.
Suatu hari, nenekku yang tinggal di Belanda datang ke Jakarta. Aku pun pamit ke papa untuk pergi ke Jakarta dan mengantarkan nenek ke bandara.
Saat di jalan, tiba-tiba papa nge-chat aku, ‘Jov, papa sakit’. Nah, papa tuh sering banget melakukan hal ini supaya aku pulang ke rumah. Soalnya dia sering pengin aku pulang, tapi malu untuk bilang kangen.
Aku pun balas, ‘Papa mau diantar ke dokter?’ tapi pesanku itu enggak di balas sampai keesokan paginya. Aku mulai enggak tenang karena papa tuh pasti selalu balas chat-ku.
Jadi aku minta tolong saudara yang tinggal di Bandung untuk menengok papa di rumah. Aku juga langsung pergi mengendarai mobil untuk pulang ke rumah Bandung.
Ternyata perasaan enggak enak itu terbukti, di tengah jalan menuju Bandung, aku ditelepon oleh saudaraku. Dia bilang papa kena demam berdarah tapi enggak ngomong ke siapa-siapa. Badannya sudah panas tinggi, saudaraku langsung membawa papa ke rumah sakit.
Ketika aku sampai di rumah sakit, papa sudah lemas tapi masih responsif, ternyata pembuluh darah di kepalanya pecah. Saat napasnya makin berat, dia diberi bantuan alat pernapasan. Lalu kondisinya jadi stabil.
Aku mulai lega tuh karena kondisinya sudah stabil, jadi aku balik ke rumah dulu untuk mencari dokumen asuransi.
Tapi ketika aku kembali ke rumah sakit, tiba-tiba dokter bilang kalau papa kritis. Saat aku masuk ke kamar papa dirawat, papa sudah meninggal.
Cara Mengatasinya
Sejak kakak meninggal, aku banyak berpikir dan sampai pada satu prinsip. Di dalam hidup, pada akhirnya kita akan hidup sendirian. Entah kita atau mereka duluan, semua akan pergi. Jadi kita enggak bisa bergantung sama orang lain.
Saat papa meninggal, aku tetap terpukul dan sedih banget. Tapi aku lebih siap dan lebih tahu cara mengatasinya. Aku enggak butuh dikasihani, aku cuma butuh teman-teman ada di samping untuk sedikit mengangkat beban dan membuatku lebih tenang.
Namun, sampai sekarang kalau lagi ngomongin kakak atau papa, aku masih tetap merasa mereka ada di sini.
Enggak ada gunanya untuk menyesalinya karena itu akan bikin hidup kita enggak tenang. Time will heal. Waktu tuh akan menyembuhkan perlahan-lahan. Kita hanya perlu menerima kenyataan bahwa mereka sudah tiada.
Kakak dan ayahku juga sudah enggak lagi merasa kesakitan, mereka sudah ada di tempat yang lebih baik dan bahagia di atas sana.”
(Curhat cewek yang mengalami kekerasan dari orangtua, klik di sini)
Penulis | : | Intan Aprilia |
Editor | : | Intan Aprilia |
KOMENTAR