Enggak Masalah dengan Mayoritas & Minoritas
Janis cerita, selama ia tinggal di Bali dan menjalani puasa di sana, dia enggak merasa dibedakan karena menjadi minoritas.
Apalagi kalau lagi di lingkungan kampus, menurutnya enggak jauh berbeda seperti di Jakarta.
Hanya saja perbedaannya, kalau di Bali tempat makan enggak ditutupi tirai selama jam puasa, hal yang mungkin sering kita lihat di tempat-tempat makan kota lain.
“Buat aku di sini semuanya saling menghargai kok. Kalau misalkan ada temanku yang enggak puasa dan harus makan di depanku, dia akan minta izin dulu.
Jadi aku merasa puasa di sini berjalan lancar-lancar saja. Mau tarawih juga gampang karena ada beberapa masjid besar yang dekat dengan tempat aku tinggal.
Juga di sini menurutku enggak ada diskriminasi agama. Misalkan seperti shalat Ied, meskipun aku belum pernah mengikuti langsung karena selalu pulang ke rumah, tapi aku tahu kalau kampusku buka salat bersama untuk mahasiswa Muslim, ramai-ramai di rektorat.”
Keseruan Waktu Puasa di Bali
Menjalani bulan puasa juga bisa jadi seru banget, Janis cerita kalau di Bali setiap menjelang buka puasa banyak pula yang menjual takjil-takjil.
Meskipun memang enggak sevariatif di tempat-tempat lain. Tapi Janis punya cara lain sebagai anak kosan agar tetap irit selama bulan puasa.
“Biasanya kalau buka puasa aku ke masjid dekat daerahku, karena di sana dikasih makanan gratis, maklum masih anak kos, ha-ha-ha.
Sewaktu sahur, untungnya kos aku dekat dengan tempat makan Muslim yang buka pas waktu sahur jadi biasanya aku ke situ.
Kalau enggak aku juga sering dikirim lauk kering seperti rendang atau paru dari rumah atau tante aku, jadi aku tinggal masak nasi di kosan.
Nah, jadi menurut aku puasa di Bali itu menyenangkan kok, tinggal gimana kita mengakalinya,” tutup Janis.
(Baca juga: Makanan dan Minuman Darurat yang Bisa Kita Bawa Jika Terpaksa Harus Buka Puasa di Jalan)
Penulis | : | Debora Gracia |
Editor | : | Debora Gracia |
KOMENTAR