"Ih cowok kok pegangan tangan?", "Sama-sama cowok kok pelukan?", "Cewek tuh harus lembut", “Pink tuh warna cewek dan biru warna cowok.”
Sering enggak sih kita mendengar komentar-komentar seperti itu? Hal itu disebut sebagai konstruksi sosial, yakni orang-orang menciptakan suatu realitas subjektif secara terus-menerus sampai kita menganggapnya sebagai hal yang benar.
Misalnya, terdapat pendapat bahwa cewek enggak boleh bekerja di luar rumah. Konsep tersebut secara turun-temurun ditanamkan, sehingga menjadi seperti realitas, padahal belum tentu kenyataannya seperti itu.
Konstruksi sosial dapat menimbulkan sterotip terhadap ras, warna kulit, gender, agama, dan sebagainya. Kali ini Cewekbanget.id akan fokus membahas konstruksi sosial gender yang sering banget kita alami. Yuk disimak!
(Baca juga: Ini 7 Perlakuan Misoginis yang Harus Diketahui)
Kenapa konstruksi sosial bisa terjadi?
Konstruksi sosial terjadi karena berbagai alasan;
1. Diajarkan oleh orang tua
Konstruksi sosial paling awal kita terima dari orang tua. Enggak semua dari kita beruntung memiliki orang tua yang terbuka dan modern.
Masih banyak orang tua yang menanamkan stereotip pada kita sejak kecil. Misalnya sebagai cewek kita harus main boneka Barbie, enggak boleh main mobil-mobilan.
Juga memakai baju-baju berwarna ‘girly’ seperti pink dan ungu, namun cowok memakai pakaian berwarna biru atau hitam yang dinilai lebih maskulin.
2. Saat di sekolah
Sama seperti di rumah, secara enggak sadar kita juga mengalami konstruksi sosial di sekolah. Contoh paling mudah adalah cewek harus memakai rok, sedangkan cowok memakai celana.
Atau saat teman-teman cowok berkelahi, guru bisa berpendapat, “Namanya juga cowok”. Namun kalau cewek berkelahi, mereka akan berkomentar, “Cewek kok berantem kayak cowok.”
Padahal perkelahian adalah luapan emosi yang bisa terjadi baik pada cowok maupun cewek.
3. Tradisi keagamaan dan budaya
Di beberapa tradisi agama dan budaya, terdapat ajaran bahwa cewek adalah pihak yang harus dilindungi, sedangkan cowok adalah sosok yang harus kuat membanting tulang.
Tradisi ini berlangsung secara turun-temurun dan sangat tertanam pada pikiran serta perilaku kita sehari-hari.
4. Dari pemberitaan media
Media memiliki peran besar dalam konstruksi sosial. Media, baik berita, film, juga lagu seringkali menggambarkan cewek sebagai sosok yang lemah lembut, perlu dilindungi, selalu merawat tubuh, mata duitan, dan banyak bicara.
Untuk cowok, media menggambarkan mereka sangat kuat, enggak pernah menangis, berpenampilan berantakan, dan jarang melakukan sentuhan seperti pelukan atau berpegangan tangan.
Akibat setiap hari kita mengonsumsi hal-hal seperti itu, lama kelamaan pikiran dan pendapat kita terbentuk menjadi seperti apa yang digambarkan oleh media.
5. Berbagai interaksi sosial sehari-hari
Keempat hal di atas dapat membentuk interaksi sosial sehari-hari. Kita pasti sering mendengar komentar seksis seperti, “Cowok ngegosip tuh kayak cewek” atau “Cewek jangan keseringan di luar, lebih baik di rumah saja.”
Kalimat-kalimat seksis yang kita dengar dari orang lain juga turut dapat membentuk pandangan dan sterotip kita terhadap perilaku suatu gender.
Apalagi kita merasa tertekan kalau memiliki pendapat yang berbeda dengan orang kebanyakan, sehingga terpaksa mengikuti opini mayoritas. Padahal belum tentu kita setuju dengan pendapat-pendapat tersebut.
(Baca juga: Hollywood dan Pelecehan Seksual. Kenapa Korban Memilih Diam?)
Bentuk-bentuk konstruksi sosial pada cewek
Konsep feminitas datang dari budaya patriarki, yakni cewek berada di bawah cowok.
Bicara tentang seksisme dan konstruksi sosial pada cewek tuh enggak akan ada habisnya. Beberapa di antaranya yang pasti pernah kita alami:
Tuntutan untuk cewek agar selalu tampil ideal dapat menyebabkan penyakit gangguan makan (diet ekstrem, bulimia, anoreksia), enggak percaya diri, anti sosial, juga depresi.
(Baca juga: Memulihkan Trauma Korban Penculikan, Apa yang Harus Dilakukan?)
Bentuk-bentuk konstruksi sosial pada cowok
Enggak hanya cewek, cowok juga mengalami konstruksi sosial akibat gender mereka.
Hal-hal di atas merupakan konstruksi sosial kalau cowok harus selalu macho dan maskulin.
Ada anggapan bahwa cowok enggak boleh bersikap lemah, enggak boleh menunjukkan emosi, juga enggak bisa menunjukkan kasih sayang, terutama pada sesama cowok.
Jika cowok menangis, memeluk temannya, atau sekadar cipika cipiki, mereka akan dicap ‘seperti cewek’, ‘banci’, atau ‘feminin’. Pasti kita pernah dengar kan pernyataan, “Cowok nangis tuh malu-maluin, kayak cewek!” atau “Cowok kok pelukan, nanti disangka banci!”.
Satu hal yang harus kita pahami, menjadi cewek dan bersikap feminin bukanlah sebuah hinaan, sehingga pernyataan-pernyataan itu seharusnya enggak bikin cowok merasa malu.
Seperti manusia pada umumnya, cowok juga mengalami patah hati, kesulitan, dan kesedihan dalam hidup.
Jika enggak diluapkan, emosi negatif itu akan terus menumpuk, sehingga bisa menyebabkan masalah mental yang parah seperti depresi, kecemasan (anxiety), dan mudah panik.
Bahkan angka kematian cowok yang bunuh diri lebih besar dibanding cewek, salah satu penyebabnya adalah karena mereka takut diangap lemah kalau mencurahkan isi hatinya.
(Baca juga: Kenapa Cowok Lebih Rentan Melakukan Bunuh Diri daripada Cewek?)
Apa yang harus dilakukan untuk mengatasi konstruksi sosial gender dan seksisme?
Meski sulit, kita bisa pelan-pelan mengubah konstruksi sosial dan seksisme yang ada di masyarakat.
1. Speak up!
Ketika seseorang mengeluarkan komentar atau candaan seksis, berikanlah dia reaksi. Reaksi dapat berupa secara terang-terangan mengatakan kalau kita enggak setuju dengan apa yang dia katakan.
Bisa juga menunjukkan dengan raut wajah bahwa kita enggak suka sama pendapatnya. Cara itu akan membuatnya berpikir dua kali untuk berbicara sembarangan.
Karena terkadang orang-orang seksis enggak sadar bahwa yang mereka lakukan atau katakan bisa menyinggung orang lain.
Mereka biasa berlindung di balik kalimat, “Namanya juga bercanda,” “Enggak asyik banget sih gitu saja marah.” Jadi lebih baik kita katakan dan jelaskan kenapa kita enggak mengapresiasi opini mereka.
2. Kelilingi hidup kita dengan orang baik
Supaya hidup kita jadi lebih baik, kelilingi hidup dengan orang-orang positif yang berpikiran terbuka.
Pilih teman yang enggak menjatuhkan dan men-judge, tapi bertemanlah dengan mereka yang menyemangati serta mendukung hal-hal yang kita lakukan.
Mereka dapat membantu kita supaya enggak melihat dunia secara sempit dan lebih berani mengutarakan pendapat.
Melawan konstruksi sosial dan seksisme memang enggak mudah, tapi kalau diam saja, hal ini akan terus terjadi. Saatnya kita speak up melawan stereotip gender!
Sumber:
Encyclopedia.com; Social Constructs
Othersociologist.com; Sociology of Gender
Huffingtonpost.co.uk; Rejecting the Social Constructs of Masculinity and Femininity
Rebus Open Textbooks; Introduction to Women, Gender, Sexuality Studies
Helloflo.com; 4 Ways We Can All Stop Everyday Sexism in Its Tracks
Penulis | : | Intan Aprilia |
Editor | : | Intan Aprilia |
KOMENTAR