Kampanye CELUP yang merupakan kepanjangan dari cekrek, lapor, upload, adalah sebuah aksi yang belakangan santer jadi perbincangan. Dengan dalih mengembalikan ruang publik ke keadaan semula, kampanye CELUP justru melanggar etika di dalam prosesnya.
Masih ada dalam ingatan kita juga, kasus tentang seorang ibu yang memergoki dua laki-laki yang dia anggap pasangan gay.
Dengan teknologi yang dia miliki, tanpa sepengetahuan dan penjelasan dari mereka, si ibu mengambil foto keduanya dan memposting foto tersebut di media sosial yang dia miliki. Setelah diusut, ternyata kedua lelaki tersebut adalah kakak beradik.
Apa yang dilakukan oleh ibu tersebut adalah tindakan gegabah yang suka menarik kesimpulan sendiri tanpa penjelasan relevan dari orang yang terkait.
Selalu merasa ingin tahu dan nge-judge urusan orang lain juga bukan hal yang asing bagi kita yang hidup di era teknologi yang canggih.
Berbekal bukti foto atau video semata, kita bisa dengan mudahnya mencampuri urusan sekaligus nge-judge mereka. Padahal, apa yang kita lihat, belum tentu hal yang sebenarnya terjadi.
Belajar dari kampanye CELUP dan berbagai kasus salah tuduh, ini dia alasan kenapa kita enggak seharusnya kepo dan nge-judge urusan orang lain.
(Baca juga: 4 Fakta Tentang Kampanye CELUP dan Kenapa Enggak Seharusnya Kita Ikut Campur Dalam Privasi Orang Lain)

undefined
Sebagai manusia, kita bukanlah orang yang sempurna. Kita melakukan kesalahan yang mungkin nantinya membuat kita menyesal, tapi hal ini adalah bagian dari proses.
Kita enggak akan berkembang dan belajar jika kerap khawatir dengan apa yang ada dalam pikiran orang lain. So, lebih baik kita berhenti mencampuri nge-judge perbuatan orang di sekitar kita.
Sebaliknya kita bisa mengingatkan diri kita sendiri supaya enggak melakukan hal serupa.
Nge-judge enggak membuat kita menjadi pribadi yang lebih baik
Nge-judge urusan orang lain enggak membuat kita menjadi yang lebih baik daripada mereka.
Suka kepo dan kemudian nge-judge urusan lain enggak lantas bikin kita jadi panutan dan lebih berakhlak, kok, girls. Malah, kita terlihat seperti mencari-cari kesalahan orang lain.

undefined
Saat kita nge-judge orang lain, sebenarnya kita sama sekali enggak mendefinisikan baik-buruknya orang tersebut. Sebaliknya, apa yang kita enggak bisa terima dari orang lain, justru hal yang belum bisa kita terima dalam diri kita sendiri.
Akhirnya kita jadi merasa perlu untuk komplain dan mengkritik orang lain supaya melakukan hal yang menurut kita benar.
Sekadar obsesi terkenal lewat postingan viral
Menjadi seseorang yang pertama mengetahui suatu hal bukanlah sebuah prestasi yang perlu kita banggakan. Apalagi kalau informasi yang kita dapatkan adalah informasi yang salah atau kita sendiri belum yakin akan kebenarannya.
Pengin jadi terkenal secara instan lewat postingan viral tapi memicu salah persepsi bukan juga merupakan tindakan yang bijak. Terlebih kalau kita enggak mengenal orang tersebut dan tahu duduk perkara yang sebenarnya.
Kalaupun pengin tahu dan pengin berbagi informasi, sebelum nge-share sesuatu, kita wajib memastikan kebenarannya. Termasuk nge-share sesuatu yang kita dapatkan dari orang lain, sekalipun sudah banyak yang nge-share, verifikasi itu masih dibutuhkan.
Selain itu, saat mengetahui seseorang berbuat hal yang kurang tepat, bukankah sebuah tepukan di bahu dan teguran akan jauh lebih baik, daripada memviralkannya lewat media sosial?
“True nobility is not about being better than anybody else, it’s about being better than you used to be.” – Wayne Dyer