"Lebih mendekati soal-soal yang biasanya dekat ke hati pemuda," kata Abu Hanifah, seorang pelaku Sumpah Pemuda (majalah Prisma 1977).
Jika ada ujian, tentu diskusi dan perdebatan terhenti dulu. Semua masuk kamar dan belajar. Nah, untuk mendinginkan pikiran, selepas tengah malam mulai terdengar bunyi-bunyian.
Amir Sjarifudin mulai menggesek biolanya, memainkan gubahan Schubert atau sonata yang sentimentil. Begitu juga Abu Hanifah mengambil biola, memainkan lagu yang sama. Suara biola bersahut-sahutan.
Tentu tak semua bisa begitu. Muhammad Yamin yang sedang diburu-buru Balai Pustaka untuk menterjemahkan Rabindranat Tagore merasa terganggu.
Ia pun berteriak meminta Amir dan Abu diam. Eh, bukannya diam, Amir dan Abu malah makin asyik menggesek biola. Yamin semakin berteriak-teriak. Amir dan Abu ketawa terbahak-bahak.
Baca Juga : Sering Dilakukan Cewek Saat PDKT, 5 Kebiasaan ini Bikin Cowok Ilfeel
Sabtu, 27 Oktober 1928. Jarum jam menunjukkan pukul 19.45 ketika Soegondo Djojopoespito yang didapuk menjadi ketua kongres membuka Kongres Pemuda II. Soegondo pemimpin rapat yang tangkas dan banyak akal.
Perlu diketahui, yang ikut rapat bukan cuma para pemuda, tapi juga diawasi langsung polisi Belanda. Pada satu kesempatan, polisi Belanda protes karena peserta rapat menggunakan kata merdeka, hal yang dilarang ketika itu.
Soegondo kemudian berkata, Jangan gunakan kata kemerdekaan, sebab rapat malam ini bukan rapat politik dan harap tahu sama saja. Hal itu disambut tepuk tangan riuh dan tawa hadirin.
Memang ada-ada saja trik kaum pergerakan kala itu mengakali polisi Belanda.
S.K. Trimurti, salah satu tokoh pergerakan masa itu menulis sebuah cerita unik di buku Bunga Rampai Soempah Pemoeda (Balai Pusatka, 1978).
Source | : | intisari online |
Penulis | : | None |
Editor | : | Ngesti Sekar Dewi |
KOMENTAR