Pengidap gangguan ini biasanya menunjukkan gejala seperti rasa enggan atau enggak mampu untuk membuang barang.
Dia juga ngalamin kecemasan yang kuat ketika berusaha membuang barang atas keinginan sendiri atau permintaan orang lain, kesulitan mengategorikan atau merapikan barang, merasa malu dan terkepung oleh barang.
Bahkan sampai merasa curiga atau paranoid ketika orang lain menyentuh barang mereka.
Penderita hoarding disorder juga kerap memiliki pikiran dan sikap obsesif seperti takut kehilangan barang atau perasaan bahwa mereka akan membutuhkan barang tersebut pada saatnya.
Dia bakal mencari-cari suatu barang yang enggak sengaja terbuang, serta gangguan fungsi seperti kehilangan tempat tinggal yang layak, isolasi sosial, konflik dalam hubungan keluarga, masalah finansial, dan ancaman kesehatan.
Biasanya, seseorang menjadi penimbun karena mereka percaya sebuah barang akan berguna atau berharga di masa depan.
Atau mereka merasa ada nilai-nilai kenangan yang unik dan enggak tergantikan dari barang tersebut karena alasan nostalgia, misalnya pengingat sebuah momen atau sosok orang yang berharga dalam hidup mereka.
Ada beberapa orang yang mengalami hoarding disorder setelah mengalami trauma kehilangan orang tersayang.
Hal ini mengakibatkan mereka menyimpan barang-barang yang berhubungan atau mengingatkan pada orang tersebut, tapi sayangnya hal itu kemudian jadi kebiasaan dan menyebar ke aspek hidup lainnya.
Baca Juga: Memasak Baik untuk Menjaga Kesehatan Mental? Ajaib Banget Ya!
Beda dengan Koleksi?
Nah, masalahnya banyak hoarder yang merasa bahwa mereka sebetulnya mengoleksi suatu barang dan enggak mau dianggap hanya menimbun.
Beberapa hoarder mungkin punya suatu barang kesayangan yang terus dikumpulkan seperti misalnya jam dinding.
Namun bedanya dengan mereka yang memang kolektor jam dinding, hoarder biasanya asal meletakkan jam dinding mereka di sembarang tempat dan tanpa pertimbangan apapun, sementara kolektor akan memamerkan koleksi mereka dengan pertimbangan dan terorganisir.
Kolektor juga punya rasa bangga untuk memamerkan koleksi mereka atau membahasnya dengan orang lain dan punya kontrol serta perencanaan finansial, enggak seperti hoarder yang justru sebetulnya merasa minder dan enggak mau kondisi mereka diketahui orang lain.
Seringkali bagi hoarder, mengumpulkan barang baru sudah bukan lagi tentang rasa bahagia, tapi untuk tetap bertahan hidup meskipun mereka sebetulnya menyadari hal itu salah dan membuat mereka pada akhirnya makin depresi dan lari dari kenyataan.
Jadi bedakan antara hoarding dan koleksi dan segera konsultasi ke psikolog atau ahlinya kalau kita menemukan gejala hoarding disorder pada diri kita atau orang lain, ya.
(*)