CewekBanget.ID - Girls, mungkin ada di antara kita yang sempat melihat sebuah twit viral tentang kamar kos yang dipenuhi sampah.
Bisa jadi kita merasa risih dan terganggu dengan pemandangan tersebut, karena enggak dapat membayangkan seseorang bisa tinggal dan beraktivitas di dalam ruangan yang isinya penuh dengan sampah.
Nah, konon, si penghuni ruangan tersebut rupanya memiliki compulsive hoarding disorder.
Apa itu hoarding disorder, ya?
Baca Juga: Ini 4 Tanda Kita Berkencan dengan Orang Antisosial. Hati-hati!
Istilah 'Hoarding'
Hoarding alias menimbun adalah pola perilaku yang dicirikan dengan mengumpulkan barang-barang, terlepas penting atau enggaknya barang tersebut, serta keengganan atau kesulitan untuk membuang atau berpisah dengan barang-barang yang pada akhirnya menyebabkan semua barang tersebut terus menumpuk.
Hal itu pun menimbulkan efek negatif mulai dari kesehatan emosional, fisik, sosial, finansial, hingga legal baik bagi si pengidap maupun orang-orang terdekatnya.
Barang-barang yang biasanya dikumpulkan sangat beragam, namun yang paling umum adalah tumpukan majalah atau koran, kantong-kantong plastik, sisa makanan, kardus, foto, alat-alat rumah tangga, makanan, dan pakaian.
Seringkali barang yang dikumpulkan sebetulnya enggak berharga atau memang sampah yang seharusnya dibuang.
Namun perilaku ini juga sering berkaitan dengan kebiasaan membeli barang secara kompulsif, mengumpulkan barang-barang gratis seperti selebaran atau pamflet, atau mengumpulkan barang-barang yang dianggap unik meskipun bagi orang lain enggak penting.
Baca Juga: Cara Jaga Kesehatan Mental, Pastikan Tubuh Tetap Aktif, Girls!
Hoarding Disorder
Hoarding sendiri pada awalnya diklasifikasikan sebagai gejala dari Obsessive Compulsive Disorder (OCD) karena memang menunjukkan gejala yang berkaitan dengan perilaku obsesif dan kompulsif dalam mengumpulkan barang.
Namun, gangguan ini juga menunjukkan gejala yang berkaitan dengan gangguan depresi mayor dan attention deficit hyperactivity disorder (ADHD).
Baru ketika Asosiasi Psikiatris Amerika merilis Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Edisi Kelima di tahun 2013, hoarding diklasifikasikan ke dalam kategori sendiri.
Tingkat penderitanya diperkirakan sekitar 2-5% orang dewasa di Amerika.
Perilaku ini bisa mulai terlihat di usia remaja, namun gejalanya bisa makin parah di usia dewasa atau lanjut, terutama bila mereka mulai tinggal sendiri dan enggak ada orang dekat yang bisa membantu mereka.
Perilaku ini lebih umum ditemukan pada mereka yang mengalami gangguan psikologis seperti depresi, kecemasan, dan ADHD.
Beberapa faktor lain yang juga berkaitan dengan hoarding adalah paranoid, ketergantungan alkohol, skizofrenia, dan menghindari interaksi sosial (avoidant).
Gejala dan Alasan Hoarding Disorder
Pengidap gangguan ini biasanya menunjukkan gejala seperti rasa enggan atau enggak mampu untuk membuang barang.
Dia juga ngalamin kecemasan yang kuat ketika berusaha membuang barang atas keinginan sendiri atau permintaan orang lain, kesulitan mengategorikan atau merapikan barang, merasa malu dan terkepung oleh barang.
Bahkan sampai merasa curiga atau paranoid ketika orang lain menyentuh barang mereka.
Penderita hoarding disorder juga kerap memiliki pikiran dan sikap obsesif seperti takut kehilangan barang atau perasaan bahwa mereka akan membutuhkan barang tersebut pada saatnya.
Dia bakal mencari-cari suatu barang yang enggak sengaja terbuang, serta gangguan fungsi seperti kehilangan tempat tinggal yang layak, isolasi sosial, konflik dalam hubungan keluarga, masalah finansial, dan ancaman kesehatan.
Biasanya, seseorang menjadi penimbun karena mereka percaya sebuah barang akan berguna atau berharga di masa depan.
Atau mereka merasa ada nilai-nilai kenangan yang unik dan enggak tergantikan dari barang tersebut karena alasan nostalgia, misalnya pengingat sebuah momen atau sosok orang yang berharga dalam hidup mereka.
Ada beberapa orang yang mengalami hoarding disorder setelah mengalami trauma kehilangan orang tersayang.
Hal ini mengakibatkan mereka menyimpan barang-barang yang berhubungan atau mengingatkan pada orang tersebut, tapi sayangnya hal itu kemudian jadi kebiasaan dan menyebar ke aspek hidup lainnya.
Baca Juga: Memasak Baik untuk Menjaga Kesehatan Mental? Ajaib Banget Ya!
Beda dengan Koleksi?
Nah, masalahnya banyak hoarder yang merasa bahwa mereka sebetulnya mengoleksi suatu barang dan enggak mau dianggap hanya menimbun.
Beberapa hoarder mungkin punya suatu barang kesayangan yang terus dikumpulkan seperti misalnya jam dinding.
Namun bedanya dengan mereka yang memang kolektor jam dinding, hoarder biasanya asal meletakkan jam dinding mereka di sembarang tempat dan tanpa pertimbangan apapun, sementara kolektor akan memamerkan koleksi mereka dengan pertimbangan dan terorganisir.
Kolektor juga punya rasa bangga untuk memamerkan koleksi mereka atau membahasnya dengan orang lain dan punya kontrol serta perencanaan finansial, enggak seperti hoarder yang justru sebetulnya merasa minder dan enggak mau kondisi mereka diketahui orang lain.
Seringkali bagi hoarder, mengumpulkan barang baru sudah bukan lagi tentang rasa bahagia, tapi untuk tetap bertahan hidup meskipun mereka sebetulnya menyadari hal itu salah dan membuat mereka pada akhirnya makin depresi dan lari dari kenyataan.
Jadi bedakan antara hoarding dan koleksi dan segera konsultasi ke psikolog atau ahlinya kalau kita menemukan gejala hoarding disorder pada diri kita atau orang lain, ya.
(*)