When We Talk About Namja*

By Astri Soeparyono, Kamis, 27 November 2014 | 17:00 WIB
When We Talk About Namja* (Astri Soeparyono)

 Sekarang ia sibuk untuk fokus pada pelajaran. Kegiatannya yang aku tahu usai pulang sekolah adalah berada di tempat les yang diikutinya.

Seperti yang kubilang pada dua sahabatku, segala yang dimiliki Arlan tiba-tiba tampak biasa di mataku. Tak ada lagi keinginan untuk menjadikannya orang yang ingin kujadikan pacar. Tapi, aku tak munafik bahwa aku masih mengagumi sepak terjang kehidupannya yang keren sebagai pelajar.

Dua sahabatku mungkin tak mengetahui bahwa Arlan menjadi biasa di mataku karena aku berhasil mendekatinya. Namun kedekatan kami sengaja dirahasiakan, sebab inilah permintaanku yang belum siap menghadapi tanggapan dari dua sahabatku persoalan kedekatan kami.

Arlan menjadi guru yang baik dalam menjelaskan pelajaran yang tak kumengerti usai les mata pelajaran. Yah, aku dan Arlan berada di tempat les mata pelajaran yang sama.

Kedekatanku bersama Arlan menyadarkanku bahwa Arlan memang bukan tipikal cowok yang kusukai meskipun aku merasa nyaman berada di sisinya.

Tak ada rasa greget yang membuatku tersipu malu atau terlihat salah tingkah karena sikapnya. Selain tentu saja aku hanya tersenyum lebar pada penjelasannya mengenai pelajaran yang membuatku cepat mengerti.

Alasan itulah kenapa aku menghentikan Arlan sebagai obyek kekagumanku seperti dulu. Tapi, bukan berarti membuatku berhenti mengaguminya.

"Jadi, apa nama topik pembicaraan kalian?"

"When We Talk About Namja," jawabku usai bercerita mengenai kebiasaanku bersama dua sahabatku mengibaratkan cowok yang kami bahas dengan K-pop idol. "Namja itu bahasa Korea yang artinya cowok," jelasku cepat saat melihat Arlan mengernyitkan dahi.

Arlan tersenyum geli. Lalu tertawa kecil. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kalau udah gila K-pop, semua disangkutpautin begini, yah?"

Aku hanya menjawabnya dengan tawa lebar sembari mengangkat bahu.