When We Talk About Namja*

By Astri Soeparyono, Kamis, 27 November 2014 | 17:00 WIB
When We Talk About Namja* (Astri Soeparyono)

"Arlan itu sekarang biasa saja," dengusku saat Fia dan Sandra mulai antusias menceritakan Arlan. Menceritakan prestasi terkini yang didapati Arlan, yaitu menang lomba debat bahasa Inggris.

"Helloo! Arlan yang lo puja-puja waktu awal kelas sebelas sekarang lo bilang biasa aja?! Muna' banget lo." Fia memasang tampang tak suka.

"Kebanyakan saingan kali. Lo nyerah untuk  ngedapetin dia."

Aku mendengus kesal. "Did you know?" aku tiba-tiba menarik nafas. "He has everything. And I don't like it."

"Lah, justru itu yang bikin semua orang menyukainya." Sandra tiba-tiba mengernyitkan dahi. "Jangan bilang lo udah putus asa karena sampai detik ini cuma bisa jadi secret admirer-nya dia?"

Aku menyeruput mocca float sampai habis. Membiarkan sindiran Fia dan Sandra yang mengarah kepadaku mengenai kemunafikanku yang tiba-tiba tak berminat membahas mengenai Arlan. Diam-diam aku menyimpan senyum tipis penuh rahasia.

 

Arlan.

Siapapun di sekolahku pasti mengenalnya, termasuk tukang kebun sekolah atau pun para penjual yang ada di kantin sekolah. Keramahannya, kebaikannya, dan kegantengannya adalah nilai yang tak dapat ditawar lagi.

Selain itu, ia dikenal dengan kepintarannya dan kehebatannya dalam bermain berbagai alat musik. Tak heran ia disukai guru kesenian dan sering terlibat dalam pentas seni sekolah.

 Ia jago di bidang olahraga dan pelajaran kecuali pelajaran eksakta. Satu-satunya kelemahan yang memaksa Arlan berada di jurusan ilmu sosial. Ia pernah menjabat sebagai ketua kelas dan ketua OSIS. Jabatan yang tak lagi ia pegang sejak naik kelas XII.

 Sekarang ia sibuk untuk fokus pada pelajaran. Kegiatannya yang aku tahu usai pulang sekolah adalah berada di tempat les yang diikutinya.

Seperti yang kubilang pada dua sahabatku, segala yang dimiliki Arlan tiba-tiba tampak biasa di mataku. Tak ada lagi keinginan untuk menjadikannya orang yang ingin kujadikan pacar. Tapi, aku tak munafik bahwa aku masih mengagumi sepak terjang kehidupannya yang keren sebagai pelajar.

Dua sahabatku mungkin tak mengetahui bahwa Arlan menjadi biasa di mataku karena aku berhasil mendekatinya. Namun kedekatan kami sengaja dirahasiakan, sebab inilah permintaanku yang belum siap menghadapi tanggapan dari dua sahabatku persoalan kedekatan kami.

Arlan menjadi guru yang baik dalam menjelaskan pelajaran yang tak kumengerti usai les mata pelajaran. Yah, aku dan Arlan berada di tempat les mata pelajaran yang sama.

Kedekatanku bersama Arlan menyadarkanku bahwa Arlan memang bukan tipikal cowok yang kusukai meskipun aku merasa nyaman berada di sisinya.

Tak ada rasa greget yang membuatku tersipu malu atau terlihat salah tingkah karena sikapnya. Selain tentu saja aku hanya tersenyum lebar pada penjelasannya mengenai pelajaran yang membuatku cepat mengerti.

Alasan itulah kenapa aku menghentikan Arlan sebagai obyek kekagumanku seperti dulu. Tapi, bukan berarti membuatku berhenti mengaguminya.

"Jadi, apa nama topik pembicaraan kalian?"

"When We Talk About Namja," jawabku usai bercerita mengenai kebiasaanku bersama dua sahabatku mengibaratkan cowok yang kami bahas dengan K-pop idol. "Namja itu bahasa Korea yang artinya cowok," jelasku cepat saat melihat Arlan mengernyitkan dahi.

Arlan tersenyum geli. Lalu tertawa kecil. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kalau udah gila K-pop, semua disangkutpautin begini, yah?"

Aku hanya menjawabnya dengan tawa lebar sembari mengangkat bahu.

When We Talk About Namja*

"Jiyoung itu enggak ganteng. Tapi, auranya itu, lho."

Aku tahu membahas Jiyoung atau lebih dikenal dengan G-Dragon (GD), leader-nya Big Bang itu memang tak pernah habisnya dengan Sandra dan Fia. Satu-satunya yang membuat obrolan terasa erat saat ini adalah persoalan G-Dragon.

Sebab membicarakan masalah Arlan tak lagi menjadi titik temu yang sama. Aku tak pernah lagi minat untuk membicarakan Arlan. Lebih baik membicarakan K-pop favorite idol kami, terlebih usai menonton konser tur dunianya lewat film dokumenter dengan format 4D di blitzmegaplex.

"Pesonanya enggak ada matinya."

"Kadang-kadang gue mikir kalau Arlan itu seperti Jiyoung," ujar Fia dengan mata yang berbinar.

Aku memasang tampang tak suka. "Jiyoung jauh dari gambaran Arlan," dengusku kesal. "Jiyoung masih terlihat menampilkan sisi bad boy-nya yang keren. Tampangnya kadang-kadang sengak. Tapi Arlan sejauh ini masih terlihat sebagai anak baik-baik."

"Gue setuju," Sandra tiba-tiba menimpali. Tumben-tumbenan anak itu memihak kepadaku ketimbang mengiyakan pendapat Fia yang sering ia lakukan.

"Arlan lebih terlihat seperti Jung Yonghwa." Sandra mulai membandingkan dengan leader-nya CN Blue. "Yong terlihat enggak ada cacatnya. Bad boy-nya enggak ada."

"Give me Five!" seruku riang. Setuju pada pendapat Sandra. Usai melakukan high five dengan Sandra, aku langsung mencibir ke arah Fia. "Fi, kalau gue nge-fiction lo, yah, gue milih lo meranin karakter Eunjung 'T-ara'. Soalnya cemberut lo enggak ngenakin banget."

"Manja," Sandra menimpali sembari tertawa saat aku mulai melepaskan tawa. Sementara Fia malah cemberut. Tipikal yang sering ditampilkannya ketika orang tak berpihak pada pendapatnya.

"Jiyoung itu terlihat seperti Dirga," ujarku cepat. Menghentikan tawa dengan senyum lebar yang langsung disambut dengan kernyitan dahi dari Sandra dan Fia yang memasang tampang bingung.

Dirga!

Tak banyak yang tahu mengenai kehebatan Dirga dalam bermain sepak bola. Sebab ia tak pernah menjadi kapten dalam pertandingan sepak bola ataupun futsal di lingkungan sekolah.

Di sekolah Dirga lebih menonjol mengenai urusan keterlambatan dan bad boy-nya. Ia sering terlihat jalan bareng dengan cewek. Sering membuat cewek salah tingkah. Terkadang di sisi lain ia mengacuhkan cewek-cewek yang mencari perhatiannya.

Namun siapa yang teliti melihat perkembangan Dirga sampai duduk kelas XII ini bakal mengakui sepak terjangnya yang perlahan terlihat.

 Ia terlihat tak berambisi untuk urusan menjadi nomor satu di sekolah tapi prestasi pelajarannya tak pernah lepas dari lima besar.

 Ia seringkali memenangkan lomba debat dan pemikiran-pemikiran bebasnya yang sering ia cantumkan di buletin. Ia menguasai sejarah, ekonomi, dan politik. Omongan yang keluar dari mulutnya seperti mahasiswa. Tak heran, sih, sebab ia dikenal penghuni paling rajin mengunjungi perpustakaan dan toko buku.

Di lingkungan rumahnya, ia dikenal sebagai kapten sepak bola untuk perkumpulan remaja komplek dan otak dari kemenangan kejuaraan antar komplek. Ia sering menempatkan dirinya sebagai playmaker.

"Gue suka lihat Dirga kalau udah bikin cewek melting gitu. Tiba-tiba kebayang aja seperti melihat Jiyoung yang berdiri di atas panggung menatapi penonton dengan tampang datarnya namun bikin cewek-cewek meleleh," aku mulai menjelaskan namun malah membuat Sandra dan Fia makin mengernyitkan dahi.

"Gue masih belum menemukan benang merah antara Jiyoung dengan Dirga." Fia masih menatapku bingung. Ia mulai bersikeras mengingat K-pop idol siapa yang pas disangkutpautkan dengan Dirga. "Gue enggak nemu. Gue malah mikirnya Soe Hok Gie. Karena Dirga suka sejarah."

Sandra tertawa mendengar pernyataan lugu Fia. Ia lalu menganggukkan kepalanya. "Representasi orang berbeda, yah, pada satu objek. Sering sulit dimengerti."

Aku ikut tertawa sambil mengiyakan omongan Sandra yang lama-lama terlihat bijak. "Lo lama-lama pemikirannya dewasa, yah."

"Faktor umur. Beberapa bulan lagi, kan, tamat SMA," seloroh Sandra. "Heh, tapi kalau gue pikir gayanya Dirga itu asyik. Sifat santainya itu ngingetin gue sama Doo Joon 'Beast'."

"Bener. Kalau itu gue setuju," Fia cepat-cepat membenarkan. "Give me five!" Kali ini ia yang mencibir ke arahku. "Tampangnya terlihat sok tahu, padahal yang diomonginnya emang bener sih," lanjut Fia dengan suara pelan.

When We Talk About Namja*

Dirga tertawa lebar mendengar semua ceritaku mengenai cowok-cowok yang sering kami ceritakan dan kami representasikan pada K-pop idol. "Jadi, apa judul topik dari obrolan kalian itu?"

"When we talk about namja," aku tersenyum malu. Memandang Dirga, tetangga yang satu SMA denganku dan diam-diam kukagumi sejak ia mengangkat artikel mengenai gelombang Korea tiga bulan yang lalu.

"Namja?" Dirga sesaat mengernyitkan dahi lalu tertawa lebar. "I know that. Sebutan cowok dalam bahasa Korea," ujarnya cepat sebelum sempat aku menjawab pertanyaannya.

Aku tertunduk malu, menyeruput mocca float hasil traktiran dari Dirga. Traktiran yang dijanjikan Dirga karena aku mau menjadi teman lari paginya.

 

Did you know, Dirga. Sekarang lo jadi oppa gue. Orang yang gue suka. Namja yang gue samain dengan Jiyoung yang mentah-mentah ditolak oleh dua sahabat gue, bisikku dalam hati seraya melirik ke arah Dirga yang kini juga sibuk dengan mocca float di tangannya.

*Namja : bahasa Korea, artinya cowok.

(Oleh: Eda Ervina, foto: tumblr.com)