Cucu Nenek

By Astri Soeparyono, Kamis, 23 Oktober 2014 | 16:00 WIB
Cucu Nenek (Astri Soeparyono)

Aku benci panggilan 'cucu nenek' yang dialamatkan padaku. Apalagi, bila diucapkan oleh Ratri dan kelompoknya. Lebih-lebih, bila diucapkan di depan Kak Satria, kakak kelas 11, yang ganteng dan diam-diam kuidolakan. Seperti yang terjadi sore ini. Saat latihan tim vokal grup untuk perlombaan antar SMU se-Jakarta selesai kuikuti.

            "Hai, Kanti. Penampilan kalian keren, deh! Apalagi waktu kamu nyanyi sendiri."

            Aku mengangkat kepalaku cepat. Sedikit berdebar begitu mengetahui pemilik suara itu adalah Kak Satria. Aku lihat, Kak Satria masih mengenakan baju olahraga. Pasti ia baru saja selesai latihan basket dengan teman-temannya. Rambut dan bajunya basah oleh keringat. Tapi, herannya, tidak tercium bau badan dari tubuh atletisnya. Aku justru mencium wangi cologne lembut yang samar-samar mampir di hidungku.

            "Terima kasih, Kak. Kakak juga keren setiap main basket ..." Ups, tiba-tiba, aku sadar sudah keceplosan bicara. Pasti, Kak Satria langsung berpikir aku diam-diam suka memperhatikan dirinya. Aaah, malunya aku! Padahal, sih, memang iya!

            Kak Satria tersenyum. Aku cepat-cepat menunduk, menyembunyikan wajahku yang pastinya sudah berubah warna seperti kepiting rebus.

            "Eh, Kanti, rumah kita, kan, searah. Pulang bareng, ya?"

            Aku terpana. Mimpi apa aku semalam, sampai-sampai cowok paling ganteng di sekolah ini mengajakku pulang bareng? Lewat ekor mataku, bisa kulihat Ratri yang berjalan menghampiri kami. Dua sahabatnya, Viny dan Dina, mengekor di belakangnya. Wajah Ratri segera menunjukkan rasa tidak suka begitu melihat Kak Satria yang sedang berbicara denganku.

            Belum sempat aku menjawab tawaran Kak Satria, Ratri sudah bergabung di antara kami.

            "Ayo, pulang, Kak! Sudah sore, nanti macet," serunya manja, sambil merangkul lengan Kak Satria.

            "Eh, kamu sudah siap, Ri? Aku baru ingat, rumah Kanti, kan, searah. Kita pulang bareng, saja."

            Wajah Ratri memerah. "Kakak apaan, sih? Kanti itu cucu nenek. Ia pasti pulang dijemput neneknya! Lagian, mobilnya, kan, penuh barang. Viny dan Dina juga ikut. Jadi sudah enggak muat lagi."

            Aku seakan baru disadarkan, dua makhluk berbeda jenis dan sifat seperti bumi dan langit di hadapanku ini adalah kakak beradik. Yang satu idolaku. Yang satunya lagi rivalku. Oh, oh, mengapa Ratri tidak memiliki sifat seperti kakaknya yang baik hati dan ramah itu? Mengapa ia begitu sulit tersenyum dan sering bersikap tidak menyenangkan terhadapku? Padahal, sudah hampir satu tahun kami bersama di tim vokal grup sekolah.