Cucu Nenek

By Astri Soeparyono, Kamis, 23 Oktober 2014 | 16:00 WIB
Cucu Nenek (Astri Soeparyono)

"Menjahit itu suatu keterampilan. Sama seperti memasak. Nanti, kamu pasti akan merasakan manfaatnya," begitu selalu kata-kata Nenek setiap berhasil membujukku membantunya menjahit. Tapi, kali ini, aku memutuskan untuk mulai mengurangi aktivitas 'cucu nenek' ini.

"Kanti capek, Nek. Agak pusing." Hatiku seperti dicubit, menyadari aku sudah berani berbohong kepada Nenek. Wajah Nenek langsung terlihat khawatir. Ia bergegas menghampiriku di tempat tidur, lalu memegang keningku.

"Kamu terlalu capek latihan, mungkin. Ya sudah, istirahat saja yang banyak. Jangan baca novel dulu."

Saat Nenek berlalu-meninggalkan segelas susu cokelat hangat di samping tempat tidurku, aku merasa buruk sekali. Dan sebelum sempat kutahan, setitik air mata jatuh membasahi bantalku.

Cucu Nenek

            "Kamu boleh ikut, dengan satu syarat: tidak ada orangtua!" suara Ratri terdengar penuh tekanan. Aku menelan ludah, sedikit gusar dengan sikapnya. Tim vokal grup berencana pergi ke mal untuk mencari aksesori pelengkap kostum lomba kami. Hari pertandingan tinggal lima hari lagi, dan kami semua ingin tampil cantik dan maksimal.

            "Iya, Kanti. Enggak seru, lagi, kalau jalan-jalan ada orangtua. Apalagi kalau ada nenek kamu! Apa kata dunia?" Dina menimpali ucapan sahabatnya.

            Aku merasakan wajahku memerah. "Tentu saja aku tidak akan mengajak Nenek. Memangnya aku anak kecil?" Lalu, segera kutelepon Nenek agar tidak usah menjemputku.

            "Kanti mau ke mal bareng teman-teman, Nek. Jadi, nanti Kanti pulang terlambat, ya."

            "Apa perlu Nenek temani?"

            "Enggaaak! Enggak perlu, Nek! Kanti pulang sendiri saja. Sudah, ya, Nek!" segera kututup telepon sebelum Nenek sempat berbicara lagi. Hatiku agak murung, memikirkan Nenek yang mungkin kaget mendengar nada suaraku yang meninggi. Tapi, apa boleh buat. Sebenarnya, jalan-jalan bersama Nenek tidaklah terlalu buruk. Nenek suka menraktir makan di restoran favorit kami. Bahkan, bila ada temanku yang kebetulan bertemu, Nenek tidak segan untuk menraktirnya juga.