Cucu Nenek

By Astri Soeparyono, Kamis, 23 Oktober 2014 | 16:00 WIB
Cucu Nenek (Astri Soeparyono)

            "Ah, masih muat, kok. Lagian Kanti, kan, mungil. Jadi, enggak akan banyak menghabiskan tempat," Kak Satria masih mencoba mengajakku.

            "Kakak...!"

            Aku cukup tahu diri, dan menyadari Ratri tidak menghendaki keberadaanku bersama mereka. "Eh, Ratri benar, Kak Satria. Aku pulang dijemput Nenek. Sebentar lagi juga datang."

            Kak Satria menghela napas. "Benar nenek kamu sebentar lagi datang? Sekolah sudah mulai sepi, lho!"

            Aku buru-buru mengangguk meyakinkan. Lalu, setelah sekali lagi memandangku dengan tatapan tidak yakin, Kak Satria pun berlalu bersama ketiga gadis di sekelilingnya. Meninggalkan bayangan panjang tubuhnya di lapangan sekolah yang luas.

Cucu Nenek

Sebenarnya, aku sangat menyadari, kalau Nenek itu asyik dan unik. Bayangkan saja, di usianya yang menjelang 60 tahun, Nenek masih terampil dan lincah menyetir mobil-mengantar jemputku ke sekolah. Sudah tidak terhitung omelan dan larangan Mama, yang menyuruhku mandiri naik angkutan umum dan tidak merepotkan Nenek lagi. Namun, Nenek selalu berhasil membujuk Mama untuk membiarkannya melakukan pekerjaan yang disukainya itu.

Nah, sebagai cucu satu-satunya, jelas aku sangat menikmati perhatian dan kasih sayang Nenek yang berlimpah-limpah. Tidak hanya mengantar jemputku sekolah, Nenek juga selalu memasakkan makanan yang enak-enak untukku. Membuatkan aksesori dari kain flannel dan benang sulam-seperti bros yang lucu dan bandana cantik-untuk bisa kupakai ke sekolah dan mempermanis penampilanku. Tidak jarang, aku pun ikut terlibat dalam proses pembuatannya. Rasanya, waktu bersama Nenek penuh terisi dengan hal-hal yang menyenangkan.

Aku memang cucu Nenek. Bahkan mungkin lebih seperti 'anak' Nenek. Karena, sejak Papa meninggal dan Mama sibuk bekerja di kantor, aku jadi banyak menghabiskan waktu bersama Nenek. Itulah yang selalu menjadi bahan olokan teman-temanku di sekolah.

Awalnya, aku tidak terlalu ambil pusing. Tapi, sejak aku mulai tertarik pada Kak Satria, panggilan 'cucu nenek' terasa seperti stempel buruk yang menempel di dahiku. Walau berat mengakuinya, aku mulai merasa malu dengan keberadaan Nenek di sekitarku.

"Kanti, temani Nenek ke pasar, yuk? Nenek mau membeli kain flannel dan benang sulam lagi," kepala Nenek mengintip dari pintu kamarku yang terbuka. Aku yang sedang membaca novel sambil tiduran di tempat tidur menoleh malas ke Nenek. Duh, satu lagi kegiatan 'orangtua' yang harus kukerjakan. Karena, biasanya, Nenek akan mulai menyuruhku mengerjakan jahitan flannel yang sederhana.