Cucu Nenek

By Astri Soeparyono, Kamis, 23 Oktober 2014 | 16:00 WIB
Cucu Nenek (Astri Soeparyono)

            "Tentu saja, Cantik! Nenek akan membuatkan untukmu dan teman-temanmu!" wajah Nenek terlihat cerah dan gembira. Aku menghembuskan napas lega. Kupikir, Nenek akan marah padaku yang sudah terus menerus menghindari Nenek akhir-akhir ini.

            "Terima kasih, Nek! Nenek tidak marah sama Kanti?" aku menatap Nenek sedikit malu.

            Nenek tersenyum sambil mengelus kepalaku lembut. "Tentu saja tidak, Sayang! Terkadang, Nenek lupa, kamu sudah bukan anak kecil lagi. Maafkan Nenek yang terlalu mengkhawatirkanmu, hingga mengabaikan bahwa kamu pun memiliki duniamu sendiri."

            Aku memeluk Nenek erat. "Nenek enggak salah. Maafkan Kanti yang selalu merepotkan Nenek. Kanti sayang sekali sama Nenek."

             Ah, bendera perdamaian yang telah berkibar di antara aku dan Nenek, membuatku tenang menghadapi perlombaan yang tinggal beberapa hari saja.

            Hari itu akhirnya tiba. Tiga puluh menit menjelang lomba dimulai, Ratri datang dengan berurai air mata. Sebelumnya, kami sudah khawatir mengapa Ratri belum sampai juga, sementara kami mendapat urutan kedua untuk tampil. Aku lihat, Kak Satria ikut menemani Ratri.

            "Ada apa, Ratri?" Viny berseru panik. Sementara, yang lain mengerumuni Ratri, aku berdiri tidak terlalu dekat di belakang mereka.

            Sambil menahan isakan, Ratri menunjukkan bagian bawah gaunnya. Kami semua terbelalak menyaksikan robekan panjang di bagian samping yang membelah gaun putih indah itu.

            "Karena terburu-buru, gaun Ratri terjepit di pintu mobil ketika mau turun tadi," Kak Satria menjelaskan.

            Seorang ibu panitia lomba menghampiri kami. "Ada apa? Kalian harus sudah siap di belakang panggung sekarang."

            Kak Satria menjelaskan masalah yang kami hadapi, dan ibu itu mengerutkan keningnya. "Panitia menyediakan alat menjahit di ruang panitia. Coba ke sana, dan selesaikan masalah kalian," sarannya cepat.  

            Ruang panitia penuh dengan orang. Aku berinisiatif mencari jarum jahit dan benang, dan berniat menjahit sendiri rok Ratri yang robek.

            "Eh, kamu mau apa?" protes Ratri melihatku yang mendekat dengan jarum jahit di tangan.

            "Menjahit rokmu. Kecuali kamu ingin menjahitnya sendiri, atau menemukan orang lain yang bisa menjahitkan untukmu."

            Ratri menatapku marah. Namun, ia tidak mempunyai pilihan lain selain membiarkanku menyentuh gaunnya. Tanpa banyak bicara, aku menjahit robekan panjang pada roknya dengan jahitan kecil yang rapi. Sebentar saja, robekan itu nyaris tidak terlihat. Dan Ratri benar, bros mawar merah berdaun hijau yang tersemai di dada kami menjadi pusat perhatian yang manis dari seluruh penampilan kami.

            "Bagus. Rapi." Kak Satria memujiku sambil tersenyum. "Siapa yang mengajarimu?"

            "Nenek," jawabku singkat sambil memutuskan benang jahitanku. "Selesai."

            Wajah-wajah tegang berubah ceria dengan segera. Termasuk Ratri. Walau, kupikir, ia masih terlalu tinggi hati untuk sekadar mengucapkan terima kasih padaku.

            "Terima kasih, Kanti," Kak Satria berbicara sambil menyenggol adiknya. Muka Ratri memerah kaku. "Thanks," ucapnya singkat. Aku tersenyum pada keduanya.

"Asyik, ya, punya nenek yang baik dan perhatian. Nenekku sudah lama terkena stroke. Karena penyakitnya itu, ia jadi suka marah-marah." Bisik Ratri saat kami semua berjalan menuju belakang panggung. Aku terpana, menatap Ratri yang terlihat sedikit gelisah dan malu. Nenek tidak pernah marah padaku. Bahkan, ia selalu membantuku setiap ada kesulitan. Detik itu juga kusadari, betapa beruntungnya aku memiliki Nenek di hidupku.

"Nenekmu pasti perempuan hebat. Aku bisa melihatnya pada cucunya ini." Kak Satria menjejeri langkahku sambil tersenyum. Aaah, baru kali ini sebutan cucu nenek terdengar indah di telingaku. Sungguh!

(oleh: yulina trihaningsih, foto: tumblr.com)