Secangkir Teh Vanilla

By Astri Soeparyono, Kamis, 28 Agustus 2014 | 16:00 WIB
Secangkir Teh Vanilla (Astri Soeparyono)

            Pagi ini aku sudah berada di sekolah. Sebenarnya aku sering tidak masuk lantaran sibuk dengan dunia keartisanku. Halah.... Mungkin kau berpikir sebaiknya aku home schooling saja. Tapi tak semudah itu. Aku yang pada dasarnya tak mudah bergaul akan sulit untuk home schooling. Di sekolah umum seperti ini saja temanku bisa dihitung dengan jari, bahkan jariku kelebihan.

            Yang lebih menyedihkan, tak semua orang menyukai artis. Aku merasa bahwa manusia akan selalu mencari hal-hal yang berada jauh dari dirinya. Seperti pribahasa, semut yang jauh terlihat, gajah di pelupuk mata tak terlihat. Dan aku adalah gajah. Keluargaku tak menyukai lagu-lagu yang kunyanyikan, mereka bilang membosankan. Mereka malah menyukai penyanyi-penyanyi lain.

            Dan di sini tak jauh berbeda. Murid yang menyukaiku, sebut saja sebagai fansku, bisa dihitung dengan jari, kali ini jumlah jari tangan dan kaki dari dua orang. Tapi lebih banyak yang tidak suka atau sangat membenciku. Mereka membicarakanku di belakang, bahkan kadang di depanku. Meledek lagu yang aku nyanyikan. Oh, itu memang pantas diledek. Tapi pamorku sebagai penyanyi wanita remaja cukup bagus di sekolah. Aku tidak berlebihan dan bersikap ramah pada siapa saja. Walau sebenarnya aku kurang suka beramah-tamah.

            "Bian, kemaren aku jalan sama Tio, lho!" ujar Rika, cewek paling sok imut.

            Aku melebarkan mataku, seakan berminat dengan topik tak penting yang ia ucapkan. "Oh ya?"

Senyum menjengkelkan Rika semakin melebar. "Terus Bian, kemaren aku jadian sama Tio," bisiknya padaku.

"Selamet, yah! Traktir dong!" aku muak dengan apa yang kukatakan.

***