Secangkir Teh Vanilla

By Astri Soeparyono, Kamis, 28 Agustus 2014 | 16:00 WIB
Secangkir Teh Vanilla (Astri Soeparyono)

Siapa yang menyuruhku manyanyikan lagu ini? Pastilah penonton. Apa yang ada di otak mereka sampai tak bosan juga dengan lagu ini? Astaga, aku ingin muntah. Betapa membosankannya ratusan kali menyanyikan lagu yang sama. Lagu sedih yang teramat sendu. Tak adakah satu pun lagu bahagia untukku? Semua penonton menginginkan aku menyanyikan lagu sendu. Mereka bilang saat aku menyanyikan lagu sendu, mereka akan terbawa emosi sampai ke lubuk hati terdalam. Ah, siapa peduli. Tapi manajerku peduli, ia peduli uang lebih dari apa pun.

            "I Love you, Bian!" teriak penonton padaku.

            "I Love you, too!" balasku dengan gaya sok artis sambil melambaikan tangan. Tapi aku ini memang artis dan aku tidak suka itu.

***

            Pagi ini aku sudah berada di sekolah. Sebenarnya aku sering tidak masuk lantaran sibuk dengan dunia keartisanku. Halah.... Mungkin kau berpikir sebaiknya aku home schooling saja. Tapi tak semudah itu. Aku yang pada dasarnya tak mudah bergaul akan sulit untuk home schooling. Di sekolah umum seperti ini saja temanku bisa dihitung dengan jari, bahkan jariku kelebihan.

            Yang lebih menyedihkan, tak semua orang menyukai artis. Aku merasa bahwa manusia akan selalu mencari hal-hal yang berada jauh dari dirinya. Seperti pribahasa, semut yang jauh terlihat, gajah di pelupuk mata tak terlihat. Dan aku adalah gajah. Keluargaku tak menyukai lagu-lagu yang kunyanyikan, mereka bilang membosankan. Mereka malah menyukai penyanyi-penyanyi lain.

            Dan di sini tak jauh berbeda. Murid yang menyukaiku, sebut saja sebagai fansku, bisa dihitung dengan jari, kali ini jumlah jari tangan dan kaki dari dua orang. Tapi lebih banyak yang tidak suka atau sangat membenciku. Mereka membicarakanku di belakang, bahkan kadang di depanku. Meledek lagu yang aku nyanyikan. Oh, itu memang pantas diledek. Tapi pamorku sebagai penyanyi wanita remaja cukup bagus di sekolah. Aku tidak berlebihan dan bersikap ramah pada siapa saja. Walau sebenarnya aku kurang suka beramah-tamah.

            "Bian, kemaren aku jalan sama Tio, lho!" ujar Rika, cewek paling sok imut.

            Aku melebarkan mataku, seakan berminat dengan topik tak penting yang ia ucapkan. "Oh ya?"

Senyum menjengkelkan Rika semakin melebar. "Terus Bian, kemaren aku jadian sama Tio," bisiknya padaku.

"Selamet, yah! Traktir dong!" aku muak dengan apa yang kukatakan.

***

            Bel istirahat berbunyi dan aku tetap di dalam kelas. Sebenarnya aku bosan berada di kelas, tapi aku memang harus tetap di sini. Setidaknya untuk belajar dan mengerjakan PR. Karena kalau tidak dikerjakan sekarang mungkin tak akan selesai.

            Aku mulai memikirkan bahwa sebenarnya aku tak boleh selalu menilai sisi-sisi buruk dari orang lain. Semua ini hanya karena emosiku saja. Toh semua orang pada dasarnya baik hati. Tapi aku selalu kesal melihat mereka. Aku merasa bahwa mereka tak mengerti apa yang kurasakan.

            Tiba-tiba Santi Si Ratu Iblis datang ke kelasku, ia dengan santai menenteng buku harianku. Astaga!

            "Aku suka matanya. Saat ia tersenyum matanya akan bersinar. Saat ia berlari, detak jantungku berpacu. Tubuhku meleleh bagaikan lilin. Aku seperti meminum seribu cangkir teh vanilla. You are so so so charming. I love you full, Joni. Ehm, buku harian Shalissa Selbian." Santi membacakan isi buku harianku, dengan penuh keiblisan dalam dirinya.

            Aku tak menyangka ini. Buku harian yang kutulis saat masuk SMA dulu, hilang dua bulan yang lalu. Dan mengapa bisa sampai ke tangan iblis?

            Santi belum selesai, ia melanjutkan dengan penuh gaya. "Semua orang di sekolah ini munafik. Menurut gue cuma Joni yang normal. Setiap pulang sekolah, gue berdiri di balkon biar bisa liat dia waktu jalan di lapangan. Padahal gue males lama-lama di sekolah, ngeliat orang-orang yang enggak pernah gue suka. Kayak Yogi, cowok yang paling sok ganteng. Rika, sok imut mampus. Anata, gayanya udah kayak menang olimpiade. Anwar, gue enek denger omongannya, tahu politik juga enggak. Yessi, ke sekolah udah kayak mau ke pasar ikan. Trian, sok jago. Monic, sok malaikat. Victor, kayak ayam lepas dari kandang. Bona, kayak beo. Ross, sok asik. Caca, lebih bikin enek lagi. Lebih lagi, kakak kelas gue tercinta, Santi si ratu paling cantik."

            Yang sudah pasti adalah kalimat terakhir ia ganti. Astaga, aku sudah benar gila, badanku gemetar tak percaya hal ini bisa terjadi di dunia nyata. Aku berdiri di hadapan Sinta dengan mata berapi dan kepalaku yang memanas. Aku tak peduli apa pun lagi sekarang. Puluhan murid melihatku. Mereka mengintip dari jendela dan beberapa masuk ke dalam kelas. Aku benci ditonton seperti ini. Aku benci berada di atas panggung. Aku benci berada di sini dan menjadi fokus utama.

            Semuanya sudah terungkap. Sebagian besar nama yang tadi dibacakan adalah teman satu kelasku. Dan Santi masih terus membacakan nama lain.

            Aku menarik rambut Santi dan menamparnya sekuat tenaga sampai ia tersungkur ke lantai. Tak ada yang jadi peran pembantu. Semuanya hanya diam menonton, dan beberapa malah bisik-bisik.

            Aku tersenyum lebar, senyum kebencian yang selama ini kusembunyikan. "Ralat. Bukan Santi si ratu paling cantik, tapi Santi Si Ratu Iblis," kataku padanya. Lalu aku berjalan mengambil tas sekolahku dan pergi meninggalkan kelas. Aku rasa tak ada yang lebih baik dari segera pulang.

            Gerbang sekolah di hadapanku masih terkunci. Satpam yang melihatku membawa tas datang menghampiriku. "Hwaaaadu Selalu Untukmu, mau kemana?" tanya Si Satpam. Lalu ia menyanyikan bagian reff lagu Selalu Untukmu. Lagu itu memang lagu hits-ku. Dan mengapa ia harus selalu menyanyikannya saat bertemu denganku?

            "Saya mau pulang Pak, sakit," aku memberi alasan.

            "Nah, nah, ini kamu mau kemana kok bawa-bawa tas? Cabut, kan?" guru piket tiba-tiba datang menghampiriku sambil menunjuk-nunjuk tas yang kubawa.

            "Saya sakit Pak, mau pulang," ujarku lalu memucatkan wajahku. Aku memang sakit. Sakit hati.

            "Eeeiiit, jangan mentang-mentang artis kamu bisa pulang. Bapak saja belum pulang, kok kamu mau pulang duluan? Kembali ke kelas!" perintahnya.

            Aku kaku di tempat, "Saya mau pulang, Pak."

            "Sudah, cepat kembali ke kelas! Saya tahu kamu hari ini enggak ada jadwal nyanyi," katanya lagi yang entah tahu darimana.

            "Pak, saya...."

            "Sini sini, Bapak antar." Ia menemaniku, memastikan aku benar-benar kembali ke kelas.

***

            Bel istirahat berbunyi lagi. Sialnya kejadian tadi di istirahat pertama. Aku menghabiskan beberapa jam pelajaran di dalam kelas, yang rasanya seperti berabad-abad. Aku duduk sendiri, tak ada yang mau duduk denganku. Sebenarnya aku duduk dengan Monic, tapi pasti ia mendengar apa yang tadi dibacakan Santi.

            Dan sekarang aku malah keluar dari dalam kelas. Menuju ruang guru untuk mengumpulkan tugas karena tadi aku tertinggal. Siapa yang mau menungguku sampai selesai? Aku lama sekali menulis karena tanganku rasanya kaku.

            Di koridor aku melihat Joni sedang mengobrol bersama dua orang temannya. Aku mundur perlahan sebelum Joni atau temannya melihatku. Entah ia sudah tahu beritanya atau belum.

            "Ee, ciiieee Joni! Ada Bian, Jon," seru teman Joni. Cukup kencang sampai orang-orang di sekitar menoleh.

            Aku tak bisa bergerak. Sungguh tak bisa bergerak.

            "Terima! Terima! Terima! Terima!" seru teman Joni dan sebagian murid yang berada di situ. Adakah di sini yang menyatakan cinta?

            "Gue enggak suka," keluar begitu saja dari mulut Joni.

            Badanku keram. Aku sudah cukup dipermalukan hari ini. Aku mau pingsan saja. Tapi kurasa tak akan ada yang menolong. Sekuat tenaga aku berjalan meninggalkan tempat mengerikan itu.

            Aku masuk ke dalam toilet, mengunci pintu dan menangis sejadi-jadinya. Aku tidak bisa berpikir lagi. Aku tidak menyatakan cinta tapi aku ditolak mentah-mentah. Kalau hanya itu mungkin tak apa. Tapi semuanya bertubi-tubi. Aku dipermalukan. Aku adalah artis paling menyedihkan di dunia ini.

***

            Sepulang sekolah aku mampir ke mini market untuk membeli teh vanilla karena kebetulan di rumah sudah habis. Mungkin dengan ke mini market rasa sedihku akan hilang. Setidaknya aku ada kegiatan, bukannya malah menangis di dalam kamar.

            Mini marketnya lumayan sepi, hanya ada dua atau tiga pembeli. Aku sering ke sini, jadi pelayannya sudah tidak kaget lagi kedatangan artis. Aku langsung menuju tempat aku bisa mendapatkan teh vanilla.

            Sebelum ke sini aku menelepon manajerku untuk menjemputku. Sialnya di saat seperti ini ia bilang nanti malam aku ada jadwal mendadak untuk off air. Dan dengan bodohnya aku mengiyakan.

Aku memang sangat suka bernyanyi, tapi menjadi penyanyi benar-benar bukan hal mudah. Jika aku punya satu saja alasan menarik kenapa aku harus tetap jadi penyanyi, mungkin aku akan seterusnya jadi penyanyi. Ini hanya masalah waktu.

            Belum sempat merenungkan tentang profesi, aku setengah pingsan melihat Joni berdiri di depan kasir mini market. Mungkin penderitaanku tadi belum cukup hingga aku harus bertemu lagi dengannya. Aku menunduk-nunduk di balik rak sambil memanjatkan doa dalam hati.

            Pengunjung mini market yang baru datang, melihatku dengan kaget. "Lho! Shalissa Selbian?! Foto bareng, dong!"

            Astaga, di depan Joni ada yang melakukan hal seperti ini. Mukaku mau ditaruh di mana?

            "Hah?! Lo Shalissa Selbian?" Joni ikut kaget. Mungkin bercanda.

            Setelah sesi foto bareng selesai, Joni menghampiriku takjub. "Lo Shalissa Selbian?!" tanyanya.

            Aku menarik nafas dalam. Mungkin ia mau mempermalukanku atau apa. "Iya."

            "Gue suka lagu lo yang Selalu Untukmu, keren banget lagunya," katanya tetap dengan antusias.

            "Lo enggak tahu selama ini gue Selbian?" tanyaku dengan tenggorokanku yang terasa janggal. Rasanya terlalu percaya diri aku mau menanggapi obrolannya.

            "Gue enggak tahu. Gue pikir lo Bian siapa," katanya. Ah, ini tipuan.

            Aku sekuat tenaga menjaga pamorku di sekolah dan dia tidak tahu aku siapa. "Gue tahu lo atlet, tapi enggak perlu sampe lo enggak tahu penyanyi yang lagunya lo suka itu satu sekolah sama lo."

            "Gue denger lagunya di radio. Mana gue tahu kalo Shalissa Selbian itu masih SMA."

            Konyol sekali. Aku sudah akan menyudahi semua ini, menyeret kakiku menuju kasir.

            "Gue juga suka lagu lo yang Secangkir Teh Vanilla," ujarnya lagi sambil sekilas melirik kotak teh di tanganku. Lalu ia menyanyikan beberapa bait lagu Secangkir Teh Vanilla dengan nada sumbang.

            "Kenapa tadi lo bilang lo enggak suka sama gue?" tanyaku padanya. Sudah kepalang tanggung untuk tidak menanyakan apa yang ingin aku tanyakan. Toh aku memang sudah malu dari awal.

            "Karena gue enggak kenal lo," jawabnya singkat.

            "Tapi lo suka gue karena gue penyanyi lagu Secangkir Teh Vanilla?" Aku memang orang gila. Aku menahan urat maluku yang mengencang.

"Iya," jawabnya lagi.

Dan aku menyukainya karena ia adalah seorang pelari nomor satu di dunia. Itu menurutku. Aku rasa ini akan menjadi salah satu alasan menarik kenapa aku harus tetap jadi penyanyi.

(oleh: fitri fadila t, foto: wifflegif.com)