Tas selempang cokelatku mendarat di sudut kamar dekat dengan keranjang pakaian kotor setelah kulempar. Hari ini benar-benar melelahkan. Masih malas berganti pakaian, kuhempaskan tubuhku ke tempat tidurku yang sudah menjadi teman tidurku selama ini. Lelah, ingin tidur. Tetapi, sesuatu menggangguku. Aku harus menulis.
Buru-buru kunyalakan laptop di atas meja belajarku. Berpikir sejenak, dan mulai kuketik kalimat-kalimat yang mengalir begitu saja dari otakku.
Selamat pagi, atau siang, atau sore, atau malam. Entah pada waktu apa kamu membaca tulisan ini.
Aku merasa harus menulis sesuatu. Sesuatu yang mungkin (sudah pasti, sih) mengingatkanku padamu. Tetapi kurasa bukan hanya sesuatu, karena... sesuatu di sini sangat banyak. Hmm.
Pertama, taman kota. Di taman kota, aku dan kamu sering menyambangi kursi panjang di bawah pohon mangga. Dari kelas sepuluh hingga kelas dua belas, kita selalu berada di kelas yang sama. Kita juga sering dijadikan satu kelompok oleh para guru. Karena taman kota berada dekat dengan sekolah, kita sering mengerjakan tugas kelompok di sini. Kursi panjang itu kursi favorit kita. Kita selalu memilih duduk di sana daripada di rerumputan hijau yang menjadi favorit untuk pengunjung taman kota lainnya. Duduk berdampingan denganmu, memperbincangkan ini itu. Membahas soal dari guru, mengerjakannya bersama.
Asal kamu tahu, aku benar-benar bersemangat kala itu. Pernah sekali, ya hanya satu kali, kita memperbincangkan orang-orang yang dekat dengan masing-masing dari kita. Tetapi tidak banyak. Aku bertanya, kamu menjawab. Begitu sebaliknya. Tidak ada tanggapan lainnya. Sepertinya kamu tidak terlalu suka membahas orang lain dalam perbincangan kita. Tidak apa-apa. Aku tetap suka, asal ada kita. Karena kita di sini berarti aku dan kamu. Aduh, aku sok puitis banget, ya? Gara-gara sering berdua berada di taman kota yang dekat dengan sekolah kita itu, kita pernah disangka berpacaran oleh teman-teman sekelas kita. Aku hanya tertawa ketika mereka mengatakan hal tersebut. Kamu berkata dengan bijaknya, "Jangan diambil hati, ya, omongan mereka..." Padahal aku senang sekali. Hi-hi-hi.
Di kursi panjang itu pula kamu bercerita tentang rencana setelah lulus SMA. Kamu mau melanjutkan kuliah ke Bandung. Ya, itu kota asalmu. Jika saja kamu tahu betapa sedih hati ini. Bagaimana bisa aku membiasakan diri tidak melihat apa yang biasa kulihat? Sesulit-sulitnya menghapus sebuah perasaan, bukankah lebih sulit menghilangkan kebiasaan? Semakin hancur rasanya ketika kamu berkata, "Terimakasih, Jogja. Selamat tinggal..." Bahkan kamu mengatakannya sebelum semuanya benar-benar berakhir. Kamu mengatakannya di hadapanku, meski tanpa menatapku.