Surat Kecil Untukmu

By Astri Soeparyono, Sabtu, 1 Maret 2014 | 16:00 WIB
Surat Kecil Untukmu (Astri Soeparyono)

Tas selempang cokelatku mendarat di sudut kamar dekat dengan keranjang pakaian kotor setelah kulempar. Hari ini benar-benar melelahkan. Masih malas berganti pakaian, kuhempaskan tubuhku ke tempat tidurku yang sudah menjadi teman tidurku selama ini. Lelah, ingin tidur. Tetapi, sesuatu menggangguku. Aku harus menulis.

Buru-buru kunyalakan laptop di atas meja belajarku. Berpikir sejenak, dan mulai kuketik kalimat-kalimat yang mengalir begitu saja dari otakku.

 

Selamat pagi, atau siang, atau sore, atau malam. Entah pada waktu apa kamu membaca tulisan ini.

 

Aku merasa harus menulis sesuatu. Sesuatu yang mungkin (sudah pasti, sih) mengingatkanku padamu. Tetapi kurasa bukan hanya sesuatu, karena... sesuatu di sini sangat banyak. Hmm.

 

Pertama, taman kota. Di taman kota, aku dan kamu sering menyambangi kursi panjang di bawah pohon mangga. Dari kelas sepuluh hingga kelas dua belas, kita selalu berada di kelas yang sama. Kita juga sering dijadikan satu kelompok oleh para guru. Karena taman kota berada dekat dengan sekolah, kita sering mengerjakan tugas kelompok di sini. Kursi panjang itu kursi favorit kita. Kita selalu memilih duduk di sana daripada di rerumputan hijau yang menjadi favorit untuk pengunjung taman kota lainnya. Duduk berdampingan denganmu, memperbincangkan ini itu. Membahas soal dari guru, mengerjakannya bersama.

 

Asal kamu tahu, aku benar-benar bersemangat kala itu. Pernah sekali, ya hanya satu kali, kita memperbincangkan orang-orang yang dekat dengan masing-masing dari kita. Tetapi tidak banyak. Aku bertanya, kamu menjawab. Begitu sebaliknya. Tidak ada tanggapan lainnya. Sepertinya kamu tidak terlalu suka membahas orang lain dalam perbincangan kita. Tidak apa-apa. Aku tetap suka, asal ada kita. Karena kita di sini berarti aku dan kamu. Aduh, aku sok puitis banget, ya? Gara-gara sering berdua berada di taman kota yang dekat dengan sekolah kita itu, kita pernah disangka berpacaran oleh teman-teman sekelas kita. Aku hanya tertawa ketika mereka mengatakan hal tersebut. Kamu berkata dengan bijaknya, "Jangan diambil hati, ya, omongan mereka..." Padahal aku senang sekali. Hi-hi-hi.

 

Di kursi panjang itu pula kamu bercerita tentang rencana setelah lulus SMA. Kamu mau melanjutkan kuliah ke Bandung. Ya, itu kota asalmu. Jika saja kamu tahu betapa sedih hati ini. Bagaimana bisa aku membiasakan diri tidak melihat apa yang biasa kulihat? Sesulit-sulitnya menghapus sebuah perasaan, bukankah lebih sulit menghilangkan kebiasaan? Semakin hancur rasanya ketika kamu berkata, "Terimakasih, Jogja. Selamat tinggal..." Bahkan kamu mengatakannya sebelum semuanya benar-benar berakhir. Kamu mengatakannya di hadapanku, meski tanpa menatapku.

 

Kamu menatap anak-anak kecil yang sedang bergulingan di rerumputan. Aku, entah menatap apa, terdiam mendengarkanmu. Kemudian kamu melanjutkan, "Aku mau nemenin Mamaku. Dia sendirian. Pekerjaan Papa membuatnya jarang bisa pulang. Ya, aku mau pulang saja. Meskipun pada awalnya aku memilih bersekolah di Jogja agar lebih mudah ketika masuk universitas di sini, tetapi aku tidak tega membiarkan Mama kesepian. Aku ingin menemani Mama." Terkesiap. Aku menoleh ke arahmu. Kagum. Tetapi masih saja, rasanya ingin menangis.

 

Ke-dua, pantai. Aku sudah sering pergi ke pantai bersama teman-teman di kelas kita. Tetapi, dari banyak kesempatan itu, hanya satu kali ada kamu. Dan itu sangat berharga bagiku. Entah dari mana keajaiban itu datang, aku merasa sangat dekat denganmu di kala itu. Di perjalanan menuju pantai, kamu menyanyikan sebuah lagu yang tak kutahu liriknya, kamu menatapku. Kamu tertawa, lucu sekali. Konyol. Tetapi itu benar-benar menyenangkan. Sesampainya di pantai, kamu menarikku ke tepi pantai menyentuh air. Ketika ombak datang, kamu menggandeng tanganku, mengajakku lari menjauhi ombak. Kita tertawa bersama. Membahagiakan.

 

Kemudian kita bermain bola pantai bersama teman-teman yang lain. Berlarian. Sangat susah berlari-lari di pasir pantai, tetapi riuhnya kegembiraan kita tidak bisa mengalahkan apa pun. Jatuhpun masih bisa tertawa. Bersenang-senang bersama teman-teman memang hiburan yang tidak bisa terbayarkan dengan apa pun, dan ada kamu. Rasanya hatiku benar-benar dipenuhi rasa senang kala itu. Setelah lelah bermain bola pantai, kita membelah semangka yang dibeli di perjalanan menuju pantai. Aku sangat doyan semangka. Tiba-tiba kamu menyuapkan cuilan semangka ke mulutku. Aku sempat ragu, tetapi aku melahapnya juga. Kemudian kita tersenyum bersama. Saling menatap. Itu benar-benar kesempatan yang tak akan kudapatkan lagi, rasanya.

 

Ke-tiga, lagu Fall For You-nya Secondhand Serenade. Aku suka sekali dengan lagu itu. Meskipun ada beberapa bait lirik lagunya yang tidak kuhafal, aku sering tiba-tiba menyanyikan lagu itu, di mana saja. Dan kamu, sering sekali mengikutiku menyanyikan lagu itu. Jadinya, kita bernyanyi bersama. Ah, aku suka sekali masa-masa seperti itu. Semoga kamu juga, ya?

 

Ke-empat, lagu Set Fire to The Rain-nya Adele. Akhir-akhir ini, kamu sering sekali menyanyikan lagu itu. Kamu hafal sekali dengan lirik-liriknya. Aku tidak hafal liriknya, jadi aku hanya mendengarmu menyanyi. Aku tidak pernah menyanyikan lagu ini bersamamu. Tetapi mendengarmu menyanyi saja, aku sudah merasa senang. Sangaaattt senang!

 

Ke-lima, permen lolipop. Aku tidak terlalu suka makan permen lolipop. Aku lebih suka dengan permen rasa mint. Suatu hari, saat kita sepakat bertemu di taman kota untuk mengerjakan tugas Bahasa Inggris, kamu membawa banyak sekali permen lolipop. Kamu membagikannya ke anak-anak kecil yang sedang bermain di taman kota. Mereka tampak senang sekali mendapatkan permen dengan warna yang beragam dan lucu itu. Ketika kita akan pulang setelah selesai mengerjakan tugas, kamu memberiku satu permen lolipop. Aku tertawa, kamu tersenyum dan aku menerimanya. Terima kasih. Namun sampai detik aku menuliskan ini, aku belum rela untuk memakan permen lolipop pemberianmu. Permen itu masih dengan manisnya bersandar di meja belajarku.

 

Ah, ya! Sekolah kita tercinta. Ini hal ke-enam yang akan mengingatkanku padamu. Bagaimana tidak? Sudah tanpa penjelasan pun kamu akan mengerti. Di sinilah kita bertemu, di sini pula kita akan berpisah. Aku tidak yakin apakah kamu mengingat pertemuan pertama kita. Itu juga pertemuan pertamaku dengan teman sekelas kita yang lainnya, sih. Ha-ha. Di hari pertama masuk sekolah, kamu duduk di belakangku. Kamu sering sekali menggoyang-goyangkan kaki kursiku dengan kakimu yang kurus itu.

 

Aku jadi merasa terganggu dan terus menoleh belakang memberikan wajah kecutku padamu. Tetapi kamu malah tertawa sambil memberikan tanda damai menggunakan jari-jari tanganmu. Aku tersenyum dan menggoyang pelan mejamu. Mungkin orang lain bahkan kamu tidak mengingat hal ini, tetapi tidak denganku. Tidak penting, ya? He-he. Terlalu banyak yang bisa diingat di setiap sudut di sekolah kita. Ruang kelas, perpustakaan, laboratorium, kantin, sampai masjid sekolah. Dari kelas X sampai kelas XII. Waktu berlalu begitu cepat. Bisakah kita memperlambat waktu?

 

Kemudian, foto-foto kita. Aku tidak memiliki banyak foto bersamamu. Tetapi apa yang kupunya, sudah memberiku kenangan yang akan selalu aku ingat. Kenangan manis, bersamamu. Dari semua foto yang ada, tidak ada foto kita yang sedang berada di sekolah. Aku memiliki fotomu bersama teman-teman yang lain di ruang kelas, tetapi bukan bersamaku. Itu saja sudah senang.

 

Aku hanya memiliki foto kita di pantai, di taman kota ketika belajar matematika bersama Malik, Alison, Adam, dan Kiky, di panti asuhan tempat kelas kita mengadakan bakti sosial, foto-foto di acara outbond ketika kita masih duduk di kelas X, dan beberapa lainnya. Tidak masalah jika kamu tidak menyimpan foto-foto bersamaku. Pernah memiliki waktu bersamamu, aku sangat mensyukuri hal itu. Terima kasih.

 

Jika foto-foto kita diurutkan menjadi nomor tujuh, berarti air putih menjadi urutan ke-delapan. Kamu seringkali mengingatkanku untuk banyak-banyak minum air putih. Sebenarnya, yang mengingatkanku untuk hal itu bukan hanya kamu. Entah mengapa, ketika kamu yang menasihatiku, aku ingin sekali menurutinya. Hi-hi-hi. Sampai sekarang, aku masih terus mencoba untuk lebih banyak minum air putih. Kalau sebelumnya aku hanya bisa minum air putih ketika habis makan saja, sekarang aku mencoba minum air putih ketika aku ingin minum. Tetapi masih belum bisa delapan gelas dalam sehari. Aku akan berusaha!

 

Kamu orang yang menyenangkan. Ketika aku dan teman-teman yang lain berada dalam situasi tegang menghadapi tugas kelompok yang sulit dipecahkan, kamu sering berseloroh lucu sehingga bisa mencairkan suasana. Kamu seringkali menirukan cara orang tertawa. Bahkan, terkadang kamu menirukan apa yang baru saja diucapkan seseorang. Orang yang kamu tirukan mungkin jadi sedikit merasa sebal, tetapi mimik mukamu selalu bisa membuat tertawa. Hal itu juga terjadi padaku.

 

Kamu orang yang baik. Baik sekali. Kamu sering membantuku ketika aku tidak bisa menyelesaikan tugas kelompok kita yang sebenarnya sudah menjadi bagianku. Tanpa diminta. Kamu sering terlihat meremehkanku, tetapi kamu sangat membantuku. Ah, ya! Apakah kamu ingat ketika kelas kita merayakan tahun baru di daerah Kaliurang? Ketika yang lain sibuk bermain kartu, menyiapkan kembang api, ngobrol ini-itu, kamu malah membantuku membuat pisang goreng. Kamu mungkin tidak tahu bagaimana perasaanku saat itu. Acak-acakan. Campur aduk. Dan, hal itu membuatku salah tingkah!

 

Erlangga yang baik, terima kasih.

 

Terima kasih sudah mau mengenalku. Terima kasih sudah mau menjadi temanku. Terima kasih sudah membuatku tersenyum. Terima kasih sudah membuatku tertawa. Terima kasih sudah menggenggam jemariku, meski hanya beberapa detik. Terima kasih sudah baik kepadaku. Terima kasih untuk segala nasihat dan saran yang pernah kau sampaikan padaku. Terima kasih telah memberiku arti kebahagiaan. Terima kasih untuk segala waktu dan kenangan yang rela kau ukirkan bersamaku. Terima kasih.

 

Selesai. Langsung kunyalakan printer dan kucetak tulisan itu. Aku tidak mau membacanya lagi. Kucari amplop di tumpukan kertas di atas meja belajarku. Kumasukkan tulisan itu ke amplop. Ragu, apakah aku harus menuliskan namanya di amplop itu. Tidak usah. Aku hanya menuliskan Surat Kecil Untukmu di pojok kanan amplop.

***

Pagi yang mendung. Hari ini hari perpisahan untuk kelas XII di sekolahku. Hari ini pula hari perpisahanku dengannya. Dia akan pergi ke Bandung setelah acara perpisahan ini selesai. Aku tidak terlalu tertarik dengan segala rangkaian acara yang ada. Sambutan dari Kepala Sekolah, sambutan dari beberapa guru, sambutan dari perwakilan orang tua, penghargaan untuk siswa-siswi yang berhasil memperoleh nilai tertinggi, dan beberapa hiburan. Semuanya kuikuti tanpa pernah berhenti mencari di mana sosoknya berada.

Pembawa acara memberitahukan bahwa akan ada hiburan dari perwakilan kelas XII IPA 2. Itu kan kelasku. Hmm...kira-kira siapa, ya? Saat aku mendekat ke panggung, tampak dia sedang mempersiapkan diri untuk menyanyi. Tatapan kami bertemu.

"Selamat siang untuk Bapak Kepala sekolah, guru-guru, para orang tua, dan teman-teman... Saya,  Adam dari kelas XII IPA 2 akan menyanyikan sebuah lagu dari Ipang yang berjudul Sahabat Kecil. Lagu ini saya persembahkan untuk teman-teman di kelas XII yang sebenarnya sudah bukan menjadi kelas XII lagi. Ini kan, sudah perpisahan...." katanya dengan riang.

Suara tepuk tangan membahana dari seluruh ruangan. Dia melanjutkan sambutannya, "Oh iya, lagu ini juga sebagai ucapan perpisahan saya untuk seorang teman, eh, mungkin bisa disebut sahabat. Entah mengapa, guru-guru suka sekali menjodohkan kami di berbagai tugas kelompok. Ha-ha-ha! Alison, terima kasih!" Dia pun langsung mulai menyanyi, menghibur penonton yang ramai bersiul. Senggolan dan lirikan mata teman-teman yang menggodaku datang bertubi-tubi. Aku hanya tersenyum malu. Pandanganku tidak lepas dari sosoknya, menikmati lagu yang dilantunkannya.

 

Bersamamu kuhabiskan waktu

Senang bisa mengenal dirimu

Rasanya semua begitu sempurna

Sayang untuk mengakhirinya...

Acara perpisahan akhirnya selesai. Aku sudah berada di depan sekolah mencari-cari sosoknya. Saat dia keluar dari aula sekolah tempat acara perpisahan tadi diadakan, dia tampak setengah berlari menuju ke arahku. Aku mengeluarkan amplop yang telah kusiapkan dari kemarin dari tas ranselku. Melihatnya, tampak tatapan penuh tanya dari matanya. Aku menyodorkan amplop itu kepadanya.

"Terima kasih untuk lagunya tadi. Ini hadiah perpisahanku untukmu. Tolong dibaca setelah kamu sampai di Bandung.... Salam untuk Mama kamu, ya."

Sebenarnya aku tidak sanggup menatap matanya lama-lama. Aku masih belum rela jika harus tidak melihatnya lagi. Dengan cepat dia menerima amplop itu. Dia tidak menanyakan apa isi dari amplop itu. Dia langsung memasukkannya ke tas. Kemudian kami berbincang-bincang sebentar sebelum dia berpamitan. Aku tidak sempat melambaikan tanganku padanya. Dia berlari terlalu terburu-buru menuju taksi yang sudah menunggunya. Aku terlalu ragu untuk berkata, "Semoga kita berjumpa lagi."

(Oleh: Alfie Rizky Ramadhani, foto: weheartit.com)