Geng Remedial

By Astri Soeparyono, Sabtu, 30 November 2013 | 16:00 WIB
Geng Remedial (Astri Soeparyono)

"Kenapa? Kok, serius banget ngobrolnya sama Bu Ina?"

Aku menunjukkan kertas ulanganku pada Mia. Teman-teman yang lain ikut melongok kertas ulanganku.

"TIGA?!!!" serempak mereka berteriak.

"Fik, seriusan ini nilai ulangan kimia kamu?" Mia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Aku hanya mengangguk, "Kenapa? Kok, bisa dapet nilai segini?" Mia begitu khawatir. Teman-teman yang lain riuh rendah berbisik membicarakan nilai fantastikku kali ini.

Beberapa minggu ke depan, aku mendapatkan nilai buruk kembali dalam beberapa nilai ulangan. Aku masuk dalam jajaran geng remedial. Semua orang terkejut dengan nilaiku yang mendadak terjun bebas. Aku menjadi bahan pembicaraan untuk waktu yang lama.

Guru BP memanggilku dan menginterogasiku kalau-kalau aku memiliki masalah berat sehingga nilaiku anjlok bukan main. Wali kelasku sampai memanggil kedua orang tuaku. Guru-guru menawarkan aku tambahan jam pelajaran. Orangtuaku menyarankan aku pindah tempat les. Kawan-kawanku? Ini yang aku tunggu reaksinya.

Titel guru langsung beralih tangan. Mereka tidak lagi mempercayaiku untuk berbagi ilmu. Mereka tidak bisa mengikuti seseorang yang cacat jika ingin mendapatkan hasil sempurna dalam raport mereka. Titel itu kini disematkan pada Mia, teman sebangkuku sekaligus runner up-ku di kelas. Kiblat contekan dan tempat bertanya pindah tangan padanya.

'Pengikut'-ku berkhianat dariku dan alih kepercayaan pada Mia. Mereka mengacuhkanku. Mereka berempati dengan kondisiku, tapi tidak bisa banyak membantuku. Yah, apa yang bisa aku harapkan, mereka tetap mengikutiku? Tidak! Mereka bukanlah sahabatku. Sahabatku tidak berjalan di belakangku mengikutiku, tapi berjalan di sampingku, bersamaku. Jelas mereka bukan.

Aku duduk tenang di meja paling depan. Sensasi remedial akhirnya aku rasakan. Aku merasakan tatapan aneh tengah mengincarku. Kanan, kiri, dan belakangku sedang menatapku. Bukan tatapan sedang mengincar jawaban dari kertas ulanganku, tapi tatapan heran dan aneh. Tatapan heran dari kaum minoritas. Sebuah tatapan yang mempertanyakan bagaimana ada utusan kaum mayoritas di ruang kelas sore hari ikut remedial.

"Kamu enggak sakit, kan?" tanya Hani seusai ulangan kimia remedial. Ega, Dea, dan Alin menghampiriku di meja. Dengan tenang aku menggelengkan kepala sembari memasukkan alat tulisku.

"Jangan-jangan ada yang nuker kertas ulangan kamu," selidik Dea.

Aku kembali menggelengkan kepala.